MENDIDIK MANUSIA MENCINTAI RASUL-NYA
MENDIDIK MANUSIA MENCINTAI RASUL-NYA
(TAFSIR AL-QUR’AN SURAT ALI IMRAN AYAT 31
Supriyanto Pasir, S.Ag., M.Ag
(TAFSIR AL-QUR’AN SURAT ALI IMRAN AYAT 31
Supriyanto Pasir, S.Ag., M.Ag
قٌلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِى يُحْبِبْكُمُ اللهُ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“31.
Katakanlah: “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian”, dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS Ali’Imrân [3]: 31)
Menurut keterangan dari al-Kalbî yang bersumber dari Abî
Shalih dan selanjutnya dari Ibn Abbas, ayat 31 tersebut di atas turun
berkenaan dengan klaim dari kalangan Yahudi yang mengaku-aku dan
membangga-banggakan diri sebagai kekasih Allah Subhânahu wa Ta’âlâ. dan
orang-orang yang mengasihi Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.[1]
Merekalah para kekasih Allah dan yang paling mencintai Allah, tidak
demikian adanya dengan yang selain mereka. Demikian anggapan mereka.
Namun klaim tersebut terbentur dengan satu kenyataan bahwa ternyata
mencintai Allah Subhânahu wa Ta’âlâ itu hanya mungkin dengan jalan
mengikuti jalan utusan-Nya yang terakhir, Nabi Muhammad s.a.w. Artinya,
jika mereka memang mencintai Allah Subhânahu wa Ta’âlâ sebagaimana
pengakuan mereka maka ikutilah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa
sallam. Namun jika kalian menolak maka cinta kalian itu tentulah cinta
yang tidak benar. Bagaimana mungkin kalian mendapatkan kebenaran jika
tidak mengikuti orang yang benar yang membawa kebenaran yang diturunkan
oleh Yang Maha Benar dan dengan cara yang benar pula? Kalau kalian
memang beriman kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ maka dengarkanlah
bagaimana firman Allah tentang Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa
sallam, “Tidaklah dia menyatakan sesuatu berdasarkan kemauan dirinya
melainkan berdasar wahyu yang diwahyukan padanya”.[2]
Mentaati Rasul Allah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah
syarat mendapatkan cinta dan ampunan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ Yang
Maha Pengampun (ghafûr) dan Yang Maha Penyayang (rahîm). Bagaimana cara
seseorang mentaati Rasulullah Muhammad s.a.w.? Tidak lain adalah
mengikuti jalan-jalan yang telah beliau tetapkan dan beliau tempuh
(ittibâ’ al-sunnah). Jalan itu sesuai dengan ayat 31 dari surat Ali
Imran seperti tersebut di atas dan Allah tegaskan kembali dengan memberi
penjelasan, “Apapun yang dibawanya untuk kalian maka ambillah dan apa
yang dilarangnya maka tahanlah untuk tidak melakukannya!”.[3]
Ketaatan kepada Rasulullah Muhammad dengan cara ittibâ’ itu hendaknya
diiringi dengan keimanan bahwa apapun yang beliau ajarkan dan lakukan
adalah contoh yang paling baik.[4]
Sedangkan taat kepada Rasulullah adalah bukti seseorang taat kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.[5]
Di ayat 31 tersebut jelas didapatkan satu keterangan bahwa
ketaatan seseorang kepada Rasulullah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi
wa sallam adalah jalan atau sebab yang menyebabkan seseorang mendapatkan
cinta dan ampunan Allah. “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah,
maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa
kalian”. Dengan mengikuti Rasulullah s.a.w. seseorang menjadi tahu jalan
mana saja yang menyebabkan dirinya mendapatkan cinta dari Allah
Subhânahu wa Ta’âlâ. Dengan mengikutinya seseorang tahu jalan yang
menimbulkan kemurkaan-Nya. Dengan mengikutinya pula seseorang yang
berdosa dapat mengetahui cara menghapus dosanya.
Dari
ayat tersebut di atas setiap Mu’min hendaknya mendapat pelajaran
berharga dari pengalaman hidup orang-orang Yahudi bahwa mencintai Allah
dan rasul-Nya ternyata tidak cukup hanya dengan perkataan saja. Namun
lebih dari itu adalah dengan bukti nyata berupa tindakan mentaati
beliau. Itulah iman yang benar. Iman yang benar-benar tertanam dan
menghunjam dalam hati, bukan sekedar klaim-klaim semata. “Apakah manusia
mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan, “Kami telah beriman !”,
sedangkan mereka tidak diuji lagi ? .
Sesungguhnya Kami telah
menguji orang-orang yang sebelum kalian. Maka Allah mengetahui
orang-orang yang benar imannya dan Allah mengetahui orang-orang yang
berdusta”.[6]
Ayat ini, menurut Ibn Katsir sebagaimana
diungkapkan dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, adalah ayat yang menjadi
penengah atau pemutus perkara (hâkimah) atas orang-orang yang hidup pada
masa kenabian Nabi Muhammad dan menganggap diri mereka mencintai Allah.
Siapapun yang menganggap dirinya mencintai Allah, namun tidak berada di
jalan yang telah ditetapkan oleh Nabi Allah Muhammad shallallâhu
‘alaihi wa sallam (al-tharîqah al-muhammadiyyah) tersebut maka dia
termasuk orang yang berdusta atas cintanya sampai dia mau
bersungguh-sungguh mengikuti syariat dan agama Nabi pada semua perkataan
dan perbuatannya.[7]
Kalau ada orang yang meragukan kredibilitas
beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam maka hendaknya dia mengerti bahwa
akhlaq beliau s.a.w. adalah sedemikian mulia karena bersumber dari
al-Qur’an, sebagaimana keterangan dari ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhu.
Pujian terhadap beliau juga datang langsung dari Allah Subhânahu wa
Ta’âlâ., “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berada di atas
pondasi akhlaq yang agung”.[8]
Meskipun demikian beliau selalu berdoa kepada Allah agar selalu dikaruniai budi pekerti yang luhur.[9]
Keluhuran pribadi itu tampak dalam sikap kesehariannya baik sebagai
pemimpin umat maupun sahabat bagi orang-orang yang ada di sekitarnya.
Beliau orang yang jujur dan selalu berpesan tentang pentingnya arti
kejujuran, “Senantiasalah bersikap jujur karena sesunggunya kejujuran
itu mengarahkan seseorang kepada kebajikan. Dan sesungguhnya kebajikan
itu mengarahkan seseorang kepada jalan menuju surga. Dan seseorang yang
senantiasa memelihara kejujuran dan konsisten atas kejujuran itu akan
dicatat sebagai orang yang shiddîq di sisi Allah. Dan jauhilah kedustaan
karena sesungguhnya kedustaan itu mengarahkan kepada kecurangan. Dan
kecurangan itu akan mengarahkan seseorang kepada jalan menuju neraka.
Dan seseorang yang berdusta dan selalu menetapi kedustaan itu maka dia
akan tertulis sebagai seorang pendusta di sisi Allah”.[10]
Kepemimpinan seorang Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga
sanggup menyita banyak perhatian sarjana Barat untuk sekedar mengulas
ataupun menuliskannya dengan serius dalam berbagai tendensi dan
motivasi. Ada yang karena kecintaannya dan ada pula karena kebenciannya.
Biasalah dalam hidup. Karen Armstrong, Martin Lings, Annemaria Schimmel
bolehlah jadi contoh sebagai kalangan sarjana yang menulis biografi
Muhammad atas dasar kecintaan mereka padanya.
Apalagi ? Masih
juga ragu ? Carilah, adakah literatur-literatur yang berani mengatakan
bahwa Nabi Muhammad adalah seorang pembohong ? Jika ada yang berani
menyatakan hal tersebut maka dia harus memberikan fakta sejarah yang
valid, dalam hal apa kebohongan itu terjadi? Jadi tidak ada keraguan
sedikitpun untuk mengikuti jalan beliau. Sudah semestinya setiap Muslim
menjadikannya sebagai suri tauladan dalam kehidupan dan mencintainya
melebihi cintanya pada kedua orangtuanya, anaknya dan manusia semuanya.
“Sungguh telah ada dalam diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik
bagi kalian yakni bagi setiap orang yang mengharapkan rahmat Allah dan
datangnya hari akhir serta banyak mengingat Allah.[11]
Sudah
seharusnya pula setiap manusia berakhlaq dengan akhlaq beliau dan
melazimi sunnah qauliah dan ‘amaliah beliau shallallâhu ‘alaihi wa
sallam dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mencintai dan mengikuti
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam maka ampunan dan kasih sayang
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ akan terlimpah atas kita semua.
Wallâhu a’lam bi al-shawwâb. [ ]
Marâji’
Al-Ashfahani, Al-Raghib. 2004. Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Baidhawi, Nashiruddin. 2003. Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Biqa’i, Imam. 2005. Tafsir Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayati wa al-Suwar. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Harari, Muhammad al-Amin. 2010. Tafsir Hada’iq al-Rauh wa al-Raihan fi Rawaby ‘Ulum al-Qur’an. Dar Thauq al-Najah: Beirut, Lebanon
Al-Nasafi, Abdullah. 2001. Tafsir Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Nisaburi, Imam al-Qusyairi. 2000. Tafsîr Lathâ’if al-Isyârât. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Qasimi, Jamaluddin. TT. Mau’izhah al-Mu’minin min Ihya’ ‘Ulum al-Din. Maktabah al-Hidayah: Surabaya
Al-Sa’di, Abdurrahman ibn Nashir. 2003. Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan. Dar Ibn Hazm: Beirut, Lebanon
Al-Shabuni, Muhammad Ali. 1999. Shafwah al-Tafasir: Tafsir li al-Qur’an al-Karim. Dar al-Kutub al-Islamiyyah: Jakarta
Al-Syanqithy, Muhammad al-Amin. 2003. Adhwa’ al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an. Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Syaukani, Muhammad. 2003. Tafsir Fath al-Qadhir. Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Utsaimin, Muhammad ibn Shalih. 2010. Al-Kanz al-Tatsmin fi Tafsir Ibn Utsaimin. Kitab Nasyirun: Beirut, Lebanon
Al-Wahidi, Abu al-Hasan Ali. 2004. Asbab Nuzul al-Qur’an. Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Zamakhsyari, Mahmud ibn Umar ibn Muhammad. 2006. Tafsir al-Kassyaf ‘an Haqa’iq Ghawamidh al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Bugha, Mushthafa & Muhyiddin Mistu. 2007. Al-Wafi fi Syarh al-Arba’in al-Nawawiyyah. Dar Ibn Katsir: Damaskus: Lebanon
Katsir, Abu al-Fida’ al-Hafizh Ibn. 1997. Tafsir al-Qur’an al-’Azhim. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon
Ridha, Muhammad Rasyid. 2005. Tafsir al-Manar. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Thabathaba’I, Muhammad Husein al-. 1997. Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Mu’assasah al-A’lami li al-Mathbu’at: Beirut, Lebanon
* Tulisan ini telah diterbitkan pada Al-Isamiyah, Edisi Maulid, No. 01 Tahun XVI, Februari 2011
** Dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah) FIAI UII dan Kepala Divisi PPD-DPPAI UII
[1] Ali ibn Ahmad al-Wahidi. 2004. Asbab Nuzul al-Qur’an. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, h. 106. Muhammad al-Amin al-Harari menambahkan bahwa ayat tersebut juga turun karena adanya klaim serupa dari kalangan Nasrani Najran dan Kafir Quraisy. Baca Muhammad al-Amin al-Harari. 2010. Tafsir Hada’iq al-Rauh wa al-Raihan fi Rawaby ‘Ulum al-Qur’an. Dar Thauq al-Najah: Beirut, Lebanon, jilid 4, h. 249
[2] Q.S. al-Najm [53]: 3-4
[3] Q.S. al-Hasyr [59]: 7
[4] Mushthafa Bugha & Muhyiddin Mistu. 2007. Al-Wafi fi Syarh al-Arba’in al-Nawawiyyah. Dar Ibn Katsir: Damaskus: Lebanon, h. 43
[5] Q.S. al-Nisa’ [4]: 80
[6] Q.S. al-Ankabut [29]: 2-3
[7] Abu al-Fida’ al-Hafizh Ibn Katsir. 1997. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon, Jilid 1, h. 393
[8] Q.S. al-Qalam [68]: 4
[9]فكان يقول فى دعائه: (( اللهمّ حسّن خَلْقِي وخُلُقِي)) ويقول: (( اللهمّ جَنِّبْنِي مُنْكَرَاتِ الأخْلاقِ)) , lihat Muhammad Jamaluddin al-Qasimi. TT. Mau’idzah al-Mu’minin Min Ihya’ ‘Ulum al-Din. Maktabah al-Hidayah: Surabaya, h. 186
[10]عليكم بالصدق فإن الصدق يهدي إلى البر وإن البر يهدي إلى الجنة وإن الرجل ليصدق ويتحرى الصدق حتى يكتب عند الله صديقا. وإياكم بالكذب فإن الكذب يهدي إلى النار وإن الرجل ليكذب ويتحرى الكذب حتى يكتب عند الله كذابا
[11] Q.S. al-Ahzab [33]: 21
** Dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah) FIAI UII dan Kepala Divisi PPD-DPPAI UII
[1] Ali ibn Ahmad al-Wahidi. 2004. Asbab Nuzul al-Qur’an. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, h. 106. Muhammad al-Amin al-Harari menambahkan bahwa ayat tersebut juga turun karena adanya klaim serupa dari kalangan Nasrani Najran dan Kafir Quraisy. Baca Muhammad al-Amin al-Harari. 2010. Tafsir Hada’iq al-Rauh wa al-Raihan fi Rawaby ‘Ulum al-Qur’an. Dar Thauq al-Najah: Beirut, Lebanon, jilid 4, h. 249
[2] Q.S. al-Najm [53]: 3-4
[3] Q.S. al-Hasyr [59]: 7
[4] Mushthafa Bugha & Muhyiddin Mistu. 2007. Al-Wafi fi Syarh al-Arba’in al-Nawawiyyah. Dar Ibn Katsir: Damaskus: Lebanon, h. 43
[5] Q.S. al-Nisa’ [4]: 80
[6] Q.S. al-Ankabut [29]: 2-3
[7] Abu al-Fida’ al-Hafizh Ibn Katsir. 1997. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon, Jilid 1, h. 393
[8] Q.S. al-Qalam [68]: 4
[9]فكان يقول فى دعائه: (( اللهمّ حسّن خَلْقِي وخُلُقِي)) ويقول: (( اللهمّ جَنِّبْنِي مُنْكَرَاتِ الأخْلاقِ)) , lihat Muhammad Jamaluddin al-Qasimi. TT. Mau’idzah al-Mu’minin Min Ihya’ ‘Ulum al-Din. Maktabah al-Hidayah: Surabaya, h. 186
[10]عليكم بالصدق فإن الصدق يهدي إلى البر وإن البر يهدي إلى الجنة وإن الرجل ليصدق ويتحرى الصدق حتى يكتب عند الله صديقا. وإياكم بالكذب فإن الكذب يهدي إلى النار وإن الرجل ليكذب ويتحرى الكذب حتى يكتب عند الله كذابا
[11] Q.S. al-Ahzab [33]: 21
0 komentar:
Posting Komentar