Catatan Kecil 547 : Dasar Menambahkan Saayidina ke dalam Sholawat
Menambah kata "Sayyid" sebelum menyebut nama Nabi Muhammad SAW
adalah perkara yang dibolehkan di dalam syari’at. Karena pada
kenyataannya Rasulullah adalah seorang Sayyid, bahkan beliau adalah
Sayyid al-‘Alamin, penghulu dan pimpinan seluruh makhluk. Salah seorang
ulama bahasa terkemuka, ar-Raghib al-Ashbahani dalam kitab Mufradat
Alfazh al-Qur’an, menuliskan bahwa di antara makna “Sayyid” adalah
seorang pemimpin, seorang yang membawahi perkumpulan satu kaum yang
dihormati dan dimuliakan (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 254).
Dalam al-Qur’an, Allah menyebut Nabi Yahya dengan kata “Sayyid”:
وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ (ءال عمران : 39 ) د
“... menjadi pemimpin dan ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan
seorang nabi termasuk keturunan orang-orang saleh”. (QS. Ali ‘Imran: 39)
Nabi Muhammad SAW jauh lebih mulia dari pada Nabi Yahya, karena beliau
adalah pimpinan seluruh para nabi dan rasul. Dengan demikian mengatakan
“Sayyid” bagi Nabi Muhammad tidak hanya boleh, tapi sudah selayaknya,
karena beliau lebih berhak untuk itu. Bahkan dalam sebuah hadits,
Rasulullah sendiri menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang “Sayyid”.
Beliau bersabda :
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ ءَادَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ (رواه الترمذي)
“Saya adalah penghulu manusia di hari kiamat”. (HR. at-Tirmidzi)
Dengan demikian di dalam membaca shalawat boleh bagi kita mengucapkan
“Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”, meskipun tidak ada pada
lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al
Ma'tsurah) dengan penambahan kata “Sayyid”. Karena menyusun dzikir
tertentu yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang
ma'tsur.
Sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim menambah lafazh talbiyah dari yang sudah
diajarkan oleh Rasulullah. Lafazh talbiyah yang diajarkan oleh Nabi SAW
adalah :
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ
لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ
شَرِيْكَ لَكَ
Namun kemudian sabahat Sayyidina Umar ibn al-Khaththab menambahkannya. Dalam bacaan beliau :
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
Dalil lainnya adalah dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa beliau
membuat kalimat tambahan pada Tasyahhud di dalamnya shalatnya. Kalimat
Tasyahhud dalam shalat yang diajarkan Rasulullah adalah “Asyhadu An La
Ilaha Illah, Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah”.
Namun kemudian ‘Abdullah ibn ‘Umar menambahkan Tasyahhud pertamanya menjadi:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
Tambahan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah” sengaja diucapkan oleh
beliau. Bahkan tentang ini ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana
Zidtuha...”. Artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La
Syarika Lah”. (HR Abu Dawud)
Dalam sebuah hadits shahih, Imam
al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi', bahwa ia
(Rifa'ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama'ah di
belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku'
beliau membaca: “Sami’allahu Liman Hamidah”, tiba-tiba salah seorang
makmum berkata:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?". Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata :
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ
“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.
al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari,
dalam menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah ibn Rafi ini menuliskan sebagai
berikut: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan kepada beberapa
perkara. Pertama; Menunjukan kebolehan menyusun dzikir yang tidak
ma'tsur di dalam shalat selama tidak menyalahi yang ma'tsur. Dua; Boleh
mengeraskan suara dzikir selama tidak mengganggu orang lain di dekatnya.
Tiga; Bahwa orang yang bersin di dalam shalat diperbolehkan baginya
mengucapkan “al-Hamdulillah” tanpa adanya hukum makruh” (Fath al-Bari,
j. 2, h. 287).
Dengan demikian boleh hukumnya dan tidak ada
masalah sama sekali di dalam bacaan shalawat menambahkan kata
“Sayyidina”, baik dibaca di luar shalat maupun di dalam shalat. Karena
tambahan kata “Sayyidina” ini adalah tambahan yang sesuai dengan dasar
syari’at, dan sama sekali tidak bertentangan dengannya.
Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut:
وَلاَ بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ، وَخَبَرُ"لاَ
تُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلاَةِ" ضَعِيْفٌ بَلْ لاَ أَصْلَ لَهُ
“Dan tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad.
Sedangkan hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah
hadits dla'if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”.
Di antara hal yang menunjukan bahwa hadits “La Tusayyiduni Fi
ash-Shalat” sebagai hadits palsu (Maudlu’) adalah karena di dalam hadits
ini terdapat kaedah kebahasaan yang salah (al-Lahn). Artinya, terdapat
kalimat yang ditinjau dari gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang
aneh dan asing. Yaitu pada kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab,
dasar kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”, bukan
“Saada, Yasiidu”.
Dengan demikian bentuk fi’il Muta'addi (kata
kerja yang membutuhkan kepada objek) dari “Saada, Yasuudu” ini adalah
“Sawwada, Yusawwidu”, dan bukan “Sayyada, Yusayyidu”. Dengan demikian,
-seandainya hadits di atas benar adanya-, maka bukan dengan kata “La
Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”. Inilah yang
dimaksud dengan al-Lahn. Sudah barang tentu Rasulullah tidak akan pernah
mengucapkan al-Lahn semacam ini, karena beliau adalah seorang Arab yang
sangat fasih (Afshah al-‘Arab).
Bahkan dalam pendapat sebagian
ulama, mengucapkan kata “Sayyidina” di depan nama Rasulullah, baik di
dalam shalat maupun di luar shalat lebih utama dari pada tidak
memakainya. Karena tambahan kata tersebut termasuk penghormatan dan adab
terhadap Rasulullah. Dan pendapat ini dinilai sebagai pendapat
mu’tamad.
Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, menuliskan sebagai berikut:
الأوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنّ الأفْضَلَ سُلُوْكُ الأدَبِ، خِلاَفًا
لِمَنْ قَالَ الأوْلَى تَرْكُ السّيَادَةِ إقْتِصَارًا عَلَى الوَارِدِ،
وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ، وَحَدِيْثُ لاَ تُسَوِّدُوْنِي فِي صَلاتِكُمْ
بِالوَاوِ لاَ بِاليَاءِ بَاطِلٌ
“Yang lebih utama adalah
mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih afdlal adalah menjalankan
adab. Hal ini berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa lebih
utama meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang
warid saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang pertama. Adapun
hadits “La Tusawwiduni Fi Shalatikum”, yang seharusnya dengan “waw”
(Tusawwiduni) bukan dengan “ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil”
(Hasyiah al-Bajuri, j. 1, h. 156).
Kata-kata “sayyidina” atau
”tuan” atau “yang mulia” seringkali digunakan oleh kaum muslimin, baik
ketika shalat maupun di luar shalat. Hal itu termasuk amalan yang sangat
utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi
Muhammad SAW. Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan:
الأوْلَى ذِكْرُالسَّيِّادَةِ لِأنَّ اْلأَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلأَدَ بِ
“Yang lebih utama adalah mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi SAW), karena hal yang lebih utama bersopan santun (kepada Beliau).” (Hasyisyah al-Bajuri, juz I, hal 156).
Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:
عن أبي هريرةقا ل , قا ل ر سو ل الله صلي الله عليه وسلم أنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَأوَّلُ مَنْ يُنْسَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأوَّلُ شَافعٍ وأول
مُشَافِعٍ
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah
RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Saya adalah sayyid (penghulu)
anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang
yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi
hak untuk membrikan syafa’at.” (Shahih Muslim, 4223).
Hadits ini
menyatakan bahwa nabi SAW menjadi sayyid di akhirat. Namun bukan berarti
Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid hanya pada hari kiamat saja. Bahkan
beliau SAW menjadi sayyid manusia didunia dan akhirat. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani:
“Kata sayyidina ini tidak hanya tertentu untuk Nabi Muhammad SAW di hari
kiamat saja, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang dari
beberapa riwayat hadits 'saya adalah sayyidnya anak cucu adam di hari
kiamat.' Tapi Nabi SAW menjadi sayyid keturunan ‘Adam di dunia dan
akhirat”. (dalam kitabnya Manhaj as-Salafi fi Fahmin Nushush bainan
Nazhariyyah wat Tathbiq, 169)
Ini sebagai indikasi bahwa Nabi SAW
membolehkan memanggil beliau dengan sayyidina. Karena memang
kenyataannya begitu. Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan kita umat
manusia yang harus kita hormati sepanjang masa.
Lalu bagaimana dengan “hadits” yang menjelaskan larangan mengucapkan sayyidina di dalam shalat?
لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ
“Janganlah kalian mengucapakan sayyidina kepadaku di dalam shalat”
Ungkapan ini memang diklaim oleh sebagian golongan sebagai hadits Nabi
SAW. Sehingga mereka mengatakan bahwa menambah kata sayyidina di depan
nama Nabi Muhammad SAW adalah bid’ah dhalalah, bid’ah yang tidak baik.
Akan tetapi ungkapan ini masih diragukan kebenarannya. Sebab secara
gramatika bahasa Arab, susunan kata-katanya ada yang tidak singkron.
Dalam bahasa Arab tidak dikatakan سَادَ- يَسِيْدُ , akan tetapi سَادَ
-يَسُوْدُ , Sehingga tidak bisa dikatakan لَاتُسَيِّدُوْنِي
Oleh karena itu, jika ungkapan itu disebut hadits, maka tergolong hadits
maudhu’. Yakni hadits palsu, bukan sabda Nabi, karena tidak mungkin
Nabi SAW keliru dalam menyusun kata-kata Arab. Konsekuensinya, hadits
itu tidak bisa dijadikan dalil untuk melarang mengucapkan sayyidina
dalam shalat?
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membaca
sayyidina ketika membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW boleh-boleh
saja, bahkan dianjurkan. Demikian pula ketika membaca tasyahud di dalam
shalat.
Ditulis oleh, Ahmad Dimyathi, S.Ag dari berbagai sumber
Lihat postingan di facebook
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMaaf Abah,mhn hadist tentang larangan pake sayyidinaa dalam sholat yang ternyata hadist maudluk/palsu, penjabaran dan pemaparanya mhn di jelaskan kembali di komentar, agar pengguna facebook celular bisa membaca, ini tameng ampuh untuk membunuh jamur2 yang di usung wahabisme, penjelasan yang lbh singkat mohon di inbokkan ke saya, agar saya lbh mudah dalam mempelajari, mengingat,dan muthola'ah, makasih jazaakumullaah. AMIIN !
BalasHapusKLIK :
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=532455850246369&set=a.111080522383906.20106.100004458751877&type=3&theater
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=532455850246369&set=a.111080522383906.20106.100004458751877&type=3&theater
BalasHapusYAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH !
BalasHapusBacalah selalu baik lisan maupun dalam hati kalimat nida'
"Yaa sayyidii yaa Rosulalloh".
Berfaedah sangat besar dan luar biasa untuk keperluan apa saja terutama untuk membersihkan hati dan ma'rifat Billah wa Rosulihihi SAW.
Boleh diamalkan oleh siapa saja tanpa pandang bulu dan golongan, baik tua, muda, dari suku bangsa manapun dan agama apapun.
Sebarkan kepada seluruh kerabat, teman, tetangga, sahabat dan semua orang yang kita temui.
Terima kasih dan Jazaa kumulloohu khoirooti wa sa'aadaatid dun-ya wal aakhirfoh Amiin !.
Posted by :
AHMAD DIMYATHI, S. Ag
Mobile Phones :
(0251) 8660966 (Kantor)
082226668817
085773653117
089527405377
Email :
pak.dimyathi@gmail.com
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus