Catatan Kecil 541, Zuhud ~ Pesan Syaikh Abu Hasan As-Syadzili
Yaa Sayyidii Yaa Rosuulalloh, Duhai Pemimpin kami Duhai Utusan Alloh !
"Apabila akhir zaman datang maka penopang agama dan dunia seseorang adalah dirham dan dinar".
---------------------------
Syeh Abu Hasan Ali Asy-syadzili Ra Ghouts Fii Zamanihi Menjadi Seorang Sufi Zuhud yang Kaya Raya. Di tengah era modern yang diwarnai kehidupan keduniaan (hedonisme) dan
materialisme, masyarakat selalu disibukkan oleh aktivitas yang berkenaan
dengan pengumpulan materi sebanyak mungkin. Ini seiring dengan tuntutan
dan kebutuhan hidup yang makin kompetitif dalam arus globalisasi yang
selalu berorientasi bisnis. Dengan kata lain, manusia hidup di
dunia ingin menjadi kaya dengan menempuh cara apa pun, halal atau haram.
Keinginan untuk kaya bukan lagi keharusan tetapi sudah menjadi sifat
dasar manusia modern.
Dalam tradisi tasawuf, para sufi
menempatkan kemiskinan dan al-faqru(kefakiran) pada maqam (jenjang) yang
tinggi sebagai salah satu syarat agar dapat wusul (sampai) dan makrifat
(mengenal) Allah. Mereka mempraktikkan al-faqru dengan gaya hidup yang
benar-benar jauh dari kemewahan dan kemegahan dunia. Mereka memilih jalan hidup yang penuh penderitaan, kesedihan, cobaan dan kemiskinan.Sebagai contoh Imam Ghazali Ra Ghouts Fii Zamanihi dalam kitab
karangannya Ihya Ulumiddin, memaparkan keunggulan dan keutamaan al-faqru
sampai berpuluh-puluh halaman tetapi dalam memaparkan keutamaan harta
dan kekayaan hanya sedikit dan sekilas.
Sebenarnya Islam tidak
pernah melarang umatnya untuk mengumpulkan harta kekayaan (hubud dunya)
sebanyak mungkin bahkan menganjurkan umatnya tidak melupakan bagian
dunianya di samping akhiratnya. Islam menganjurkan adanya balance
kepentingan duniawi dan ukhrawi sebagaimana firman Allah: "...
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah padamu kebahagiaan
negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan
dunia". (QS Al-Qashash: 77).
Dikuatkan hadis Nabi SAW yang
diriwayatkan Al-Khatib dari Anas: "Sebaik-baik kamu adalah orang yang
tidak meninggalkan akhirat untuk memperoleh dunianya dan tidak
meninggalkan dunianya untuk memperoleh akhiratnya (tetapi harus
keduanya) dan janganlah kamu membuat susah masyarakat".
Islam
hanya tidak membenarkan hati kita terlalu kumanthil (lekat-lekat-red)
terhadap harta benda sehingga dapat melupakan dan melalaikan kewajiban
taat dan menyembah Allah SWT. Inilah inti dari sifat zuhud (menghindari
dunia).
Banyak orang salah mengartikan bahwa zuhud harus miskin dan menderita tanpa harta benda.
Padahal pengertian zuhud yang sebenarnya adalah sebagaimana penjelasan
Sufi Agung Syeh Sufyan as-Tsauri Ra, "Memendekkan angan-angan hati kita
kepada urusan dunia bukan berarti makan yang tidak enak dan berpakaian
compang-camping".
Jadi bila ada orang yang kaya raya tetapi
hatinya tidak selalu memikirkan dunia berarti orang tersebut mempunyai
sifat zuhud dan sebaliknya bila ada orang miskin tetapi hatinya selalu
memikirkan urusan dunia berarti orang tersebut tidak zuhud tetapi hubud
dunya. Intinya, zuhud bukan dilihat dari kaya atau miskin tetapi dari
hatinya.
Pengertian Zuhud
Pengertian zuhud sendiri dalam Alquran dijelaskan dalam surat Al-Hadid ayat 23:
"Supaya kau tidak berputus asa terhadap sesuatu yang telah hilang di hadapanmu dan tidak terlalu gembira terhadap karunia yang datang padamu".
Ada yang unik dari penjelasan Imam Al-Ghazali Ra dalam
Ihya-nya : "Az-Zuhdu fi az-Zuhdi bin idhari diddihi" (zuhud dalam
pengertian zuhud yang sebenarnya adalah menampakkan perbuatan yang
seolah-olah bertentangan dengan zuhud itu sendiri).Beliau
mengartikannya kesempatan seorang arif yang zuhud adalah meninggalkan
keinginan syahwatnya karena Allah tetapi terkadang juga menampakkan
dirinya mengikuti syahwatnya dengan tujuan menutupi derajat kesufiannya
di mata masyarakat sehingga ia tidak terganggu dari penilaian mereka
seperti dihormati, dipuji, dikultuskan, diagungkan atau dicela.
Dalam Islam, harta kejayaan bisa menjadi sesuatu yang terpuji bila
digunakan untuk kemaslahatan dan kepentingan dunia dan agama, sehingga
dalam Alquran, Allah sering menyebut harta dengan khair (kebaikan)
dengan catatan banyak atau sedikitnya rezeki tidak ditentukan ketakwaan
seseorang tetapi memang sudah ditentukan dalam catatan amal sebagaimana
sabda Rasulullah SAW :
"Rezeki telah dibagi dan dialokasikan sesuai bagian yang telah ditentukan. Ketakwaan seseorang tidak berarti menambah rezekinya dan kefasikan seseorang tidak pula berarti mengurangi rezekinya".
Seorang sufi ternama, Syeh Said bin Musayyab Ra
pernah berkata tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak mau mengumpulkan
harta dari barang halal.
Bahkan Syeh Sufyan as-Tsauri Ra dengan tegas mengatakan, "harta di zaman sekarang adalah senjata ampuh bagi orang mukmin". Rasulullah SAW sendiri mengakui betapa pentingnya harta kekayaan
sebagai penopang hidup manusia modern baik urusan dunia maupun agamanya
sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan oleh At-Tabrani :
"Apabila akhir zaman datang maka penopang agama dan dunia seseorang adalah dirham dan dinar".
Dari penjelasan di atas, jelaslah menanamkan pola hidup miskin di zaman
modern sebagaimana yang diajarkan para sufi terdahulu merupakan konsep
usang yang harus ditinggalkan dan sudah tidak cocok dengan era
globalisasi sekarang.Terbukti kini banyak para kiai, ulama dan
mursyid tarekat yang nota bene pewaris para nabi AW mempunyai rumah
mewah, kendaraan yang sangat mahal dan harta yang berlimpah. Sebuah
pemandangan yang kontras dan jauh berbeda dengan gaya hidup panutannya,
Rasulullah SAW.Beliau menggoreskan sejarah hidupnya dengan
hidup miskin tetapi tidak berarti menyuruh atau menganjurkan hidup
miskin, sebab kenyataannya banyak sahabat beliau yang kaya raya bahkan
beliau mengawinkan dua putrinya kepada sahabat yang kaya raya, Sayyidina
Ustman bin Affan Ra.Ketika beliau ditawari hidup kaya oleh
Allah, beliau menjawab dengan dua alasan, pertama, beliau malu kepada
para nabi dan rasul terdahulu karena mereka merasakan kepedihan luar
biasa dalam menyampaikan Risalah Allah, tidak hanya lapar dan miskin
tetapi juga cacian, siksaan dan cobaan yang datang silih berganti, toh
mereka tetap sabar dan tabah.
Ketika beliau ditanya tentang
kebiasaan seseorang yang berpakaian dan memakai perhiasan bagus beliau
menjawab : "Inna Allah jamilun yuhibbul jamal(Allah adalah Tuhan Yang
Maha Indah dan menyukai keindahan).
Jadi beliau juga memberi
justifikasi kepada umatnya untuk hidup mewah asal tetap taat dan tidak
lalai terhadap kewajiban Allah. Adapun kepada umatnya yang hidup miskin,
beliau menghibur dan meyakinkan bahwa Allah akan memberi anugerah yang
besar melebihi orang kaya kepada orang miskin di akhirat kelak asal
sabar dan menerima.
Yang menarik, ada penjelasan dari seorang
sufi besar Imam Abu Hasan as-Syadzili Ra Ghouts Fii Zamanihi yang selalu
menganjurkan hidup "ngota" dan parlente, beliau menyarankan pada para
sahabatnya, "Makanlah makanan yang paling lezat, minumlah minuman yang
paling enak, berpakaianlah dengan pakaian yang paling mahal sebab bila
seseorang telah melakukan itu semua dan berkata "Alhamdulillah", maka
semua anggota badannya menjawab dan mengakui dengan bersyukur.
Sebaliknya bila seseorang makan hanya gandum dengan garam, berpakaian
lusuh, tidur di lantai, minum air tawar kemudian ia berkata,
"Alhamdulillah", maka seluruh anggota badannya malah marah, bosan dan
mencela pada orang yang mengatakan itu, sebab anggota badan tersebut
merasa tidak diberi hak yang selayaknya, tidak sesuai antara pernyataan
syukur dan kenyataannya. Seandainya ia bisa melihat langsung, tentunya
ia akan melihat kebosanan dan kemarahannya. Tentunya ia memilih dosa
karena membohongi anggota badannya, kalau begitu lebih baik orang yang
menikmati kesenangan dunia dengan penuh keyakinan kepada Allah sebab
pada hakikatnya orang yang menikmati kesenangan dunia adalah melakukan
sesuatu yang diperbolehkan Allah dan barang siapa menimbulkan kebosanan
dan kemarahan pada anggota badannya pada hakikatnya melakukan sesuatu
yang diharamkan Allah".
Dari penjelasannya, beliau memberikan
pembenaran dan pembelaan yang kuat bahwa seorang sufi boleh hidup mewah
di dunia dengan catatan memakai pakaian yang mahal dengan niat
menampakkan nikmat Allah bukan untuk memuaskan nafsunya. Juga makan dan
minum yang lezat dengan niat agar seluruh anggota badannya dapat
bersyukur dengan anugerah yang telah diberikannya.
Bahkan beliau
tidak menghendaki seorang sufi yang miskin, kelemproh, lusuh, kumal,
dekil dan kucel. Ini dibuktikan dalam sejarah, beliau selalu memakai
pakaian yang mewah dan mahal, berkendaraan yang bagus dan berbagai
fasilitas yang serba lux, sangat berbeda dengan gaya hidup para sufi
pada umumnya. Toh beliau tetap mempunyai reputasi dan nama yang harum
sebagai sufi agung, dijadikan panutan dan dikagumi hingga sekarang.
Sebab kenyataannya beliau menggunakan fasilitas kemewahan dunia
semata-mata untuk kepentingan ibadah kepada Allah dan untuk kepentingan
umum umat Islam pada zamannya, sebuah ibadah sosial yang dianjurkan
dalam Islam.
Imam Abu Hasan as-Syadzili Ra Ghouts Fii Zamanihi mengilustrasikan gaya hidup mewahnya dengan sebuah kisah, sbb. :
Pada suatu hari ada seeorang yang hendak bertemu Imam Abu Hasan Ali
al-Syadzili Ra di rumahnya. Karena belum tahu rumahnya, ia bertanya
kepada orang lain, orang itu segera pergi ke tempat yang ditunjukkan,
begitu sampai ke alamatnya, ia tidak jadi masuk ke rumah itu, karena ia
mendapatkan sebuah bangunan rumah bagai istana raja yang sangat indah
dan megah. Ia tidak percaya kalau itu rumah tempat tinggal imam yang
dicarinya. Dalam hatinya ia yakin bahwa seorang wali tidak akan hidup
semewah itu. Seorang wali adalah orang yang hidup sederhana dan pasti
mengamalkan zuhud, yaitu sikap menjauhi dunia. Melihat kenyataan itu, ia
segera pulang, tetapi di tengah jalan ia berjumpa dengan seorang
pengendara kereta kuda yang mewah mempersilakan naik bersamanya. Dengan
penuh rasa waswas akhirnya ia menerima tawaran orang tersebut. Dalam
pembicaraan di atas kereta, diketahuilah bahwa pengendara kereta itu
tidak lain Imam Abu Hasan as-Syadzili Ra sendiri.
Ketika ia tahu
siapa yang ditumpanginya, ia pun tidak berani menyembunyikan niatnya
semula dan mengatakan bahwa sebenarnya ia baru saja pergi ke rumah
beliau. Namun niat itu digagalkan karena tidak percaya bahwa rumah itu
adalah rumah Sang Imam. Mendengar penuturan tersebut, Imam Abu Hasan
kemudian memberikan sebuah gelas yang berisi minuman anggur pilihan. Ia
sangat kagum karena selama hidupnya belum pernah melihat dan meminum
anggur semacam itu. Rasa kagum itu membuatnya merasa takut kalau anggur
itu tumpah atau gelasnya terlepas dari genggamannya. Apalagi kereta yang
ia tumpangi sedang lari kencang mengelilingi kota. Seluruh perhatiannya
tertuju pada gelas dan anggur sehingga ia tidak bisa menikmati indahnya
perjalanan dan megahnya pemandangan kota sekelilingnya.
Setelah
selesai mengelilingi kota, kereta beliau berhenti di halaman rumahnya
tanpa disadari orang tersebut, ia terus saja memperhatikan anggurnya. Ia
baru sadar setelah Sang Imam bertanya kepadanya :
"Bagaimana perjalanan tadi, apakah kamu bisa menikmati keindahan kota ini?"
Ia tidak bisa menjawab karena selama perjalanan memang tidak melihat
apa-apa selain anggur yang ada di tangannya. Sebelum orang itu menjawab,
Imam Syadzili Ra melanjutkan kata-katanya, "Nah, antara kamu, keindahan
kota dan anggur di tanganmu itu ibarat aku sendiri dengan hartaku dan
Allah dalam batinku. Karena perhatianku hanya tertuju kepada Allah, aku
tidak pernah peduli apakah kota ini indah atau tidak."
Orang itu memahami apa yang dilihat dan didengarnya. Ia gembira karena mendapatkan pelajaran zuhud dari Sang Imam Besar.
Yaa Sayyidii Yaa Ayyuhal Ghouts !
Sumber : Dikutib dari berbagai sumber.
0 komentar:
Posting Komentar