TANGGAPAN DAN PENJELASAN Terhadap KEJANGGALAN GUS THOIFUR TERHADAP AJARAN WAHIDIYAH
TANGGAPAN DAN
PENJELASAN
Terhadap
KEJANGGALAN GUS THOIFUR TERHADAP AJARAN WAHIDIYAH
--------------------------------------------------------------------------------
بِسْـمِ اللهِ
الرَحْمَنِ الرَحِيْمِ
الحَـمْدُ للهِ
الذِي أَتَــانَا بِالوَاحِــدِيَّةِ بِفَضْـلِ رَبِّنَا
الحَمـْدُ للهِ
الصَلاَةُ وَالسَـلاَمُ عَـلَيْكَ وَالآلِ أَيَا خَيْرَ الأَنَامِ
رَبٌّ كَرِيْمٌ
وَأَنْتَ ذُو خُلُقٍ عَظِيْمٍ فَاشْفَعْ
لَنَا فَاشْفَعْ لَنَا عِنْدَ الكَرِيْمِ
يَأَيُّهَا
الغَـوْثُ سَــلاَمُ اللهِ عَـلَيْكَ
رَبِّــنِي بإِذْنِ اللهِ
وَانْظُرْ إِلَيَّ
سَــيِّدِي بِنَظْرَةٍ مُوْصِـلَةٍ لِلْحَـضْرَةِ
العَلِيَّةِ
يَارَبَّنَا اللهُمَّ
صَـلِّ سَـلِّمِ عَلَى مُحَمَّدٍ شَــفِيْعِ الأُمَمِ
وَالآلِ واجْعَلِ
الأَنَامَ مُسْرِعِيْنَ بِالوَاحِــدِيَّةِ لِرَبِّ العَلَمِيْنَ
يَارَبَّنَا
اغْفِرْ يَسِّرْ افْتَحْ وَاهْدِنَا قَرِّبْ
وَأَلِّـفْ بَـيْنَنَا يَارَبَّنَا
أَمَّا بَعْد
I.
Tanggapan terhadap kejanggalan pertama.
Pada poin
ini Gus Thoifur menyatakan :
Di dalam
buku "PEDOMAN POKOK-POKOK AJARAN WAHIDIYAH"`
pada halaman 6-7 di jelaskan tentang BILLAH:
'Dalam segala kehidupan, gerak gerik kita atau
perbuatan atau tindakan apa saja lahir dan batin
dimanapun dan kapanpun saja, supaya dalam hati senantiasa
merasa bahwa yang menciptakan dan menitahkan
serta menggerakkan itu semua adalah ALLOH MAHA PENCIPTA!
Jangan sekali-kali mengaku atau merasa bahwa kita mempunyai kemampuan sendiri. lni mutlak, dalam segala hal supaya merasa begitu, baik dalam keadaan toat maupun ketika maksiat,
harus merasa billah !. Tanpa kecuali !. Ini harus kita sadari !.
والله خلقكم وما تعملون – الصفات - 96
"Padahal
ALLOH-lah yang menciptakan kamu sekalian dan
apa yang kamu sekalian perbuat."
Menurut kami peryataan di atas sangat bahaya bagi orang awam yang membacanya, karena tidak di
jelaskan sikap kita dari kaca mata syariat
padahal dalam memahami alquran dan alhadits harus dengan dua pandangan yaitu pandangan syariat dan haqiqot
sebagaimana di terangkan dalam kitab "igozdhul himam” halaman 15. dan pernyataan itu tidak punya adab terhadap ALLOH.
Kami menjelaskan :
A.
Penjelasan terhadap
pernyataan :
Menurut kami peryataan di atas sangat bahaya bagi orang awam yang membacanya, karena tidak di
jelaskan sikap kita dari kaca mata syariat
padahal dalam memahami alquran dan alhadis harus dengan dua pandangan yaitu pandangan syariat dan haqiqot.
a.
Gus ... . Seseorang yang membaca pernyataan kejanggalan
sampeyan dengan tanpa melihat keterangan dalam buku kami, tentu akan mudah
membenarkan sampeyan. Namun, bagi mereka yang membaca pernyataan sampeyan
kemudian mencocokkannya dengan keterangan yang terdapat dalam buku kami, tentu
dengan mudahnya dapat menilai sampeyan mengada-ngada, serta mudah membaca kalau
Gus punya niatan lain yang tidak ada kaitannya dengan isi buku
kami. Mengapa ....... ? :
1.
Gus, sampeyan dengan jelas SENGAJA memotong-motong keterangan
yang ada dalam buku kami. Kemudian mengartikannya, menurut selera sampeyan
sendiri.
2.
Semestinya, siapapun
orangnya – jika dengan niatan yang baik -, membaca buku kami yang disertai
dengan cara membaca yang benar, tidak akan menyimpulkannya seperti kesimpulan Gus.
b.
Siapapun (mungkin
selain Gus) tentu sudah memahami, bahwa
:
1.
Dalam kitab/ buku
apapun dan dari manapun, setiap membahas tentang keberadaan Allah Swt dan kekuasaan-Nya
(ushuluddin/ aqidah), harus sesuai dengan keberadaan dan kekuasaan-Nya
yang sejati-jatinya, tanpa ditambah atau dikurangi sedikitpun.
Dan kami menguraikan makna Qs. as-Shaffat : 96 (aqidah) tersebut, baik
tersurat maupun tersirat, tidak keluar dari makna esensinya, yakni sadar BILLAH
(hakikat).
2.
Demikian pula, dalam
kitab/ buku apapun dan dari manapun, setiap membahas tugas manusia (furu’iyah/
fiqih), tentu akan membahas dengan setuntas-tuntasnya. Dan dengan
disertai niatan yang semurni-murninya karena Allah Swt semata, LILLAH (syariat).
Dan buku kami, sebelum mengulas Qs.
as-Shaffat : 96 tersebut, lebih dahulu mengulas tentang penjelasan LILLAH
(halaman 2 – 5), yang disertai beberapa dalil, baik dari al-Qur’an maupun
hadis.
Antara lain pada halaman 2
tertulis :
LILLAH, artinya : segala perbuatan apa saja lahir maupun batin, baik yang hubungan langsung
kepada Allah wa Rasulihi Saw, maupun yang berhubungan dengan didalam masarakat, bahkan dalam hubungan
kepada semua makhluk, baik kedudukan hukumnya wajib, sunnah atau mubah asal
bukan perbuatan yang tidak diridlai oleh Allah, bukan perbuatan yang merugikan,
melaksanakannya supaya disertai niat beribadah mengabdikan diri kepada Allah
dengan ikhlas tanpa pamrih.
Perbuatan
terlarang atau merugikan, seperti maksiat atau mungkarot sama sekali tidak
boleh diniati ibadah LILLAH; dan kita harus berusaha menjauhi dan
menghindarinya itulah yang harus dengan ibadah LILLAH !. Demikian seterusnya
didalam segala perbuatan apa saja termasuk makan, minum, bekerja, tidur,
istirahat dan sebagainya.
IKHLAS TANPA
PAMRIH; semata-mata karena dan untuk Allah. Tidak berarti menutup pintu harapan
ingin mendapatkan pahala, surga dan sebagainya atau takut siksa neraka dan
sebagainya.
Akan tetapi
didalam kita ingin atau takut itulah yang kita niati ibadah LILLAH, sebab kita
memang diperintahkan supaya berharap kepada pahala, surge dan lain-lain. Dan
supaya takut kepada siksa, neraka atau lain-lain.
Pada halaman 5
tertulis :
Kesimpulannya, orang yang beramal ibadah hanya menuruti
kamauan nafsunya sendiri, dia adalah hamba dari nafsunya, dia mempertuhankan
nafsunya tidak merasa. Oleh karena nafsu itu justru yang paling dimurkai oleh
Allah, maka dengan sendirinya orang yang mengikuti nafsu itulah yang paling
dimurkai oleh Allah.
3.
Dan, dalam kitab/
buku apapun dan dari manapun, ketika membahas tentang penerapan keduanya
(syariat dan hakikat), tentu akan menerangkan tentang bahayanya memisahkan
antara keduanya.
Dalam hal ini, buku kami telah mengulasnya. Pada halaman
10 tertulis :
LILLAH – BILLAH
harus diterapkan secara serempak bersama-sama. Hanya LILLAH saja tanpa BILLAH;
berbahaya. Bahayanya, yaitu antara lain, ujub, ujub, takabbur dan sebagainya.
Begitu juga hanya BILLAH saja tanpa LILLAH, menjadi batal karena tanpa
menjalankan perintah dan menjauhi larangan ALLAH.
شَرِيْعَةٌ بِلاَ حَقِيْقَةٍ عَاطِلَةٌ وَحَقِيْقَةٌ بِلاَ
شَرِيْعَةٍ بَاطِلَةٌ.
Syariat tanpa
hakikat kosong tidak ada isinya. Dan hakikat tanpa syariat, batal tidak
berarti.
c.
Siapapun yang
membaca buku kami secara tuntas (tanpa memotong-motong ulasan seperti gaya Gus),
akan mudah memahami bahwa buku akan akan menguntungkan kepada semua pihak (awam
atau non awam). Paling tidak menambah wawasan bagi pembacanya.
d.
Dengan demikian,
yang pantas dianggap JANGGAL adalah Gus sendiri, bukan buku kami.
@ Kami bertanya :
1.
Hal apa yang
menyebabkan Gus, membaca buku kami dengan gaya seperti itu ?.
2.
Ataukah sampeyan
memiliki kebiasaan (pembawaan) gaya membaca seperti itu?.
e.
Jika pernyataan
kejanggalan Gus tersebut (mungkin) disebabkan oleh aqidah sampeyan yang
tidak sejalan dengan makna Qs. as-Shaffat : 96, semestinya, sampeyan menganggap
janggal juga kepada kepada kitab atau buku yang mengulas makna ayat tersebut.
Dan paling pertama yang harus Gus
anggap janggal, adalah kitab yang menulis hadis riwayat Abu Daud (Sunan,
nomer hadis 4071 dan 4072) : HR Abu Daud, Rasulullah Saw bersabda : القَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِه الآُمَّةِ : Qadariyah
adalah paham majusinya ummat ini (4071), dan : لِكُلِّ أُمَّةٍ مَجُوسٌ وَمَجُوسُ
هَذِه الآُمَّةِ الذِيْنَ يَقُولُونَ لا َقَدْرَ وَهُمْ شِيْعَةُ الدَجَّالِ
: Setiap
ummat terdapat paham majusi. Dan majusinya ummat ini adalah orang-orang yang
mengatakan tidak ada taqdir. Dan mereka itu pembela Dajjal. (4072).
f.
Tujuan kami
menerbitkan buku-buku Wahidiyah, adalah untuk
:
1.
KALANGAN SENDIRI
(buku pegangan bagi pengamal Wahidiyah, bukan untuk kalangan luar). Artinya,
isinya sangat berkaitan dengan penerapan, dan bukan pembahasan. Dan karenanya,
setiap usai kami membahasnya, secara tertulis kami mengajak mereka untuk
bermujahadah.
2.
MEMBERIKAN PENGERTIAN
secara ilmiyah tentang pokok iman, Islam dan ihsan kepada pengamal Wahidiyah.
Sedangkan pemilihan dan pemilahan dalam judul bab antara LILLAH
–BILLAH, bukan untuk dipertentangkan. Karena, seseorang, tanpa mengamalkan
keduanya bersama-sama, tentu akan mudah digoda oleh nafsu untuk
mempermasalahkan dan mempertentangkannya.
g.
Gus ...., mengapa hanya “KAMI”, dan bukan “KITA SEMUA”, yang
sampeyan nilai membahayakan orang awam ?. Padahal kita semua KITA SEMUA sering
mengajarkan kepada semua orang kalimat yang semakna dengan Qs. as-Shoffat :
96. Misalnya : redaksi (لاحول ولا قوة الاّ بالله العلي العظيم / tiada daya dan uapaya kecuali atas daya dan upaya Allah) juga telah memasarakat.
h.
Dalam buku FIQH
KLENIK (Ridwan Qayyum) dengan kata pengantar al-Mukarrom Bapak KH A.
Idris Marzuki (Pengasuh PP Lirboyo Kota Kediri), juga menulis (hlm : 28):
“Pengertian “ke-esaan”
Allah dalam segala perbuatanadalah : bahwa tidak ada seorang makhlukpun yang dapat berbuat sesuatu, karena Allah
semata yang menciptakan segala perbuatan makhluk .
@ Kami bertanya : Gus ...., mengapa hanya kepada kami
yang dianggap janggal dan membahayakan orang awam, sedangkan kita semua
dan buku FIQIH KLENIK yang diberi kata pengantar Pengasuh PP Lirboyo, tidak
?. Dengan demikian, salahkah, bila ada orang mengatakan : dalam mengoreksi
buku Wahidiyah, niatan Gus bukan untuk kepentingan agama dan ilmu, melainkan
diluar tujuan suci itu ?.
B.
Penjelasan terhadap
pernyataan :
karena tidak di jelaskan sikap kita dari
kaca mata syariat atau hakikot.
Kami menjelaskan :
Pernyataan Gus diatas,
dengan jelas sampeyan sangat ANEH, karena dalam menyimpulkan buku-buku kami
secara SERAMPANGAN. Mengapa ?.
a.
Dalam kejanggalan
pertama ini, Gus tidak mau merujuk kepada buku kami KULIAH WAHIDIYAH. Padahal
dalam kejanggalan kedua sampeyan merujuk kepada buku tersebut.
Gus, sampeyan tidak
fair dalam mengambil
buku rujukan. Yang sesuai dengan selera sampeyan, ya sampeyan ambil, sedangkan yang
tidak cocok, tidak sampeyan ambil.
b.
Dalam buku KULIAH
WAHIDIYAH halaman 107, dengan jelas menjelaskan antara syariat dan hakikat
(iman/ tauhid). Mari kita lihat bersama :
Hal tersebut tidak boleh diartikan bahwa kita diperbolehkan
melakukan perbuatan maksiat asal sudah bisa BILLAH. Tidak, tidak berarti
begitu. Perkara boleh atau tidak, itu bidang syariat bidang LILLAH.
Sedang BILLAH adalah bidang iman, bidang TAUHID. Kita harus mengisi segala
bidang !. Kita isi sepenuh mungkin. Didalam bidang syariat, maksiat tetap
maksiat, dilarang menjalankannya. Dicegah dan harus dihindari sekuat mungkin.
Apa bila terpaksa menjalankan maksiat, harus diakui itu terlarang tidak boleh
dikerjakan. Maka harus cepat-cepat menghindar dan bertaubat. Di dalam kita
menghindarkan diri dari maksiat dan bertaubat itulah yang harus disertai niat
LILLAH disamping sadar BILLAH senantiasa. Begitu seharusnya.
@ Gus, keterangan diatas ini bukankah pandangan
syariat dan hakikat ? Kalau jawaban Gus, TIDAK, kami bertanya : bagaimana
kerangka berpikir ?.
C.
Penjelasan
pernyataan: dan pernyataan itu tidak punya adab terhadap ALLOH.
Kami menjelaskan :
Kalimat Gus diatas,
aslinya suci dan anggun. Namun, setelah Gus mengarahkannya kepada buku
kami yang tidak ada kejanggalannya, maka pernyataan suul adab kepada Allah, akan
kembali secara otomatis kepada Gus sendiri.
Kesimpulan :
a.
Yang JANGGAL semestinya Gus sendiri, bukan buku kami.
b.
Guru Pembimbing kami, (Hadlratul Mukarrom Kanjeng Romo
KH. Abdul Latif Madjid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren
Kedunglo), membimbingkan:
1.
LILLAH – BILLAH itu untuk dipraktekkan. Bukan untuk
dijadikan bahasan saja, apalagi diperdebatkan secara ilmiyah.
2.
Kebanyakan dari
mereka yang hanya memperdebatkan keduanya – disamping membuang-buang waktu -,
sering terjerumus kedalam jebakan nafsu/ setan.
II.
Tanggapan terhadap kejanggalan kedua.
Pada poin
ini Gus Thoifur Dan Gus Yak menyatakan :
Di dalam buku KULIAH
WAHIDIYAH tepatnya pada halaman 127-128 terdapat ajaran ISTIGHROQ AHADIYAH / LAA MAUJUDA ILLALLOH
(tiada yang wujud selain ALLOH) padahal mengucapkan LAA MAUJUDA ILLALLOH saja harom syar'an
karna mengandung
iham (salah faham bagi orang awam) apalagi mempraktekkan seperti ajaran wahidiyah.
dan dalil yang di gunakan
"Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) ALLOH tuhan apapun
yang lain. tidak ada tuhan( yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap
sesuatu pasti binasa, kecuali ALLOH. Bagi-Nyalah segala penentuan,dan hanya kepada-Nyalah
kamu dikembalikan.(alqosos 88).
I.
Penjelaskan pertama
terhadap pernyataan : padahal mengucapkan LAA MAUJUDA ILLALLOH saja harom
syar'an karna mengandung iham (salah faham bagi orang awam) apalagi mempraktekkan
seperti ajaran wahidiyah.
a.
Gus, pada halaman 127–128 dalam buku kami, tidak terdapat
keterangan yang mengajarkan atau menganjurkan pengamal Wahidiyah untuk “mengucapkan”
LAA MAUJUDA ILLALLAH.
Namun Gus .... , sampeyan
memahami redaksi buku kami yang berbahasa Indonesia saja tidak mampu, wajar
saja, jika SALAH dalam memahami redaksi bahasa arab yang terdapat dalam kitab Sitajut
Thalibin yang sampeyan jadikan rujukan.
b.
LAA MAUJUDA ILLALLAH
yang dimaksud dalam buku kami adalah dalam ranah DZIKIR (khofi) bukan
kondisi lainnya.
Disitu tertulis istilah : “kami tenggengen”
artinya yang agak dekat adalah “terpesona yang sangat mendalam”.
c.
Dan, pelaksanaan
ISTIGHRAQ, kami TIDAK SEPERTI anggapan sampeyan Gus. Tapi seperti prinsip-prinsip yang diijinkan oleh syariah
Islam.
d.
SANGAT perlu Gus
ketahui, bahwa pernyataan Gus diatas SANGAT SALAH. Karena :
1.
Sampeyan SALAH
mengartikan redaksi dari kitab sirajut
thalibin tersebut.
Sebab makna dari redaksi (وهذا
اللفظ لا يجوز شرعا : kata itu haram
syar’an), bukan tertuju kepada makna/ kata LAA MAUJUUDA ILLALLOH.
Tetapi kepada : أنا الله : aku adalah Allah, atau : مافي الجبة إلاّ اللهtidak ada dalam jubah/ pakaian kecuali Allah.
Gus, ternyata sampeyan punya hobi yang tidak pantas. Yakni, kepada
sebagian redaksi dari kitab yang masyhur ditimur tengah saja, sampeyan berani
memutar balikkan maknanya, hanya demi memenuhi kepentingan ego sampeyan sesaat. Dan mari kita lihat halaman 51 dan 52 : فَمَنْ قَالَ لا أَعْرِفُ إِلاَّ الله فإنَّهُ لَيْسَ فِي
الوُجُود إِلاَّ اللهُ
وَالحَاصِلُ أَنَّ لِكُلِّ شَيْئٍ وَجْهَيْنِ : وَجْهٌ إِلَى
نَفْسِهِ وَوَجْهٌ إِلَى رَبِّهِ, فَهُوَ
بِاعْتِبَارِ وَجْهِ نَفْسِهِ عَدَمٌ,
وَبِاعِتِبَارِ وَجْهِ اللهِ مَوْجُوْدٌ,
فَإِذَنْ لاَمَوْجُوْدَ إِلاَّ اللهُ
Dan Redaksi (لكن القوم تارة تغلبهم الاحوال فيؤل ما يقع منهم بما يناسبه), tidak Gus perhatikan. Padahal maknanya sangat esensi sekali.
Dan makna بما يناسبه : sesuatu yang pantas, adalah harus dikaitkan dengan amaliyah lahiriyah kaum yang
mengucapkan kalimat tersebut. Yaitu mereka bersyariat atau tidak. Kalau
bersyariat, harus ditakwilkan kepada sesuatu yang seseuai dengan agama. Dan
kalau mereka tidak bersyariat, harus dilihat kepada waktu mengucapkan kalimah
tersebut. Yakni mereka dalam keadaan ghalabah atau ghaibubatul aqli.
e.
Cara penakwilan yang
baik, sebagaimana keterangan buku Ahkamul Fuqaha, LTN PBNU, (Khalista
Surabaya tahun April 2011) bahasan ke: 117
:
S. Apakah thariqah Tijaniyah itu termasuk thariqah yang benar dan
mu’tabarah ? ................... ?.
J. Thariqah
Tijaniyah itu mempunyai urutan langsung (sanad muttashil).
............... . Adapun yang tidak
sesuai apabila dapat ditakwilkan, maka harus ditakwilkan pada arti yang sesuai
dengan agama dan terserah kepada yang ahli. Bila tidak bisa dan ternyata
bertentangan dengan agama dan tidak dapat ditakwilkan, maka hal itu salah, dan
tidak boleh diajarkan kepada golongan awam supaya tidak tersesat dan menyesatkan.
f.
Banyak ulama yang
tidak sekedar mengucapakan LAA AMUJUDA ILLAH, akan tetapi menjadikannya sebuah
wiridan.
Diantara ulama, kitab atau wirid yang membolehkannya :
1.
Didalam wirid Dzikrul
Ghafilin-nya al-Maghfurlah Gus Mik, Mbah Hamid Pasuruan, Mbah Yai Ahmad
Shidik Jember, terdapat redaksi :
لاَمَعْبُوْدَ
إِلاَّ اللهُ, لاَمَقْصُوْدَ إِلاَّ اللهُ, لاَمَطْلُوْبَ إِلاَّ اللهُ, لاَمَوْجُوْدَ
إِلاَّ اللهُ
Tidak ada yang disembah kecuali Alloh, Tidak ada yang
dituju kecuali Alloh, Tidak ada yang dicari kecuali Alloh, Tidak ada yang
maujud kecuali Alloh.
2.
Para ulama ahli
thariqah. Sebagaimana dalam kitab Jamiul Ushul-nya Syeh Kamasykhanawi Ra
bab “adz-dzikr”, menerangkan pemahaman kaum sufi :
(لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ)
أَي لاَمَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ اللهُ, لاَمَقْصُوْدَ إِلاَّ
اللهُ, أَوْ لاَمَوْجُوْدَ إِلاَّ اللهُ
Tiada yang hak untuk disembah kecuali
Allah, tiada yang dituju kecuali Allah, dan tiada yang wujud kecuali Allah.
3.
Syeh al-Masyisy Ra, dalam shalawat-nya (diamalkan orang
awam dan non awam), terdapat redaksi yang semakna :
وَزُجَّ بِي فِي بِحَار الأَحَدِيَةِ وَانْشُلْنِي
مِنْ أَوحَالِ التَّوْحِيْدِ وَأَغْرِقْنِي فِي عَيْنِ بَحْرِ الوَحْدَةِ حَتَّى
لاَ أَرَى وَلاَ أَسْمَعَ وَلآَ أَجدَ وَلاَ أُحِسَّ إِلاَّ بِهَا.
Dan doronglah dengan kami kedalam lautan AHADIYAH, dan
turun (keluar)-kanlah kami dari lumpur (kesesatan) tauhid. Dan tenggelamkanlah
kami kedalam kenyataan lautan ke-Esa-an MU. Hingga aku tidak melihat,
tidak mendengar, tidak menemukan dan tidak merasa kecuali didalam samudra
ke-Esa-an-Mu.
@ Kami bertanya. Apakah Gus mengerti atau tidak,
dengan wirid dan ajaran dari para ulama yang kita hormati tersebut ?. Kalau Gus memang tidak mengerti, ya
.... , wajar saja tidak dapat memahami buku kami secara baik.
g.
Kami mempraktekkan
“LAA MAUJUDA ILLALLAH”, adalah dalam ranah DZIKIR, bukan keadaan lainnya. Untuk
jelasnya, lihat kembali (halaman 127) :
ISTIGHROQ AHADIYAH
Yaitu mengetrapkan “Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah”
seperti sudah kita bahas pada bab BILLAH dimuka. Harus diterapkan didalam rasa
hati pada segala keadaan, segala tingkah, segala gerak lahir batin. Mutlak
dalam segala hal tanpa ada pengecualian. Shalawat kedua didalam lembaran
Wahidiyah “ALLOHUMMA KAMA ANTA AHLUH ..... dan seterusnya” antara lain berisi
doa istighrog Wahidiyah ini. Yaitu pada kalimat “ANTUGHRIQONAA FII LUJJATI
BAHRIL WAHDAH, HATTA LAA NARO ..... dan seterusnya”.
Adapun cara prakteknya, diam lahir batin tidak membaca
atau mewiridkan apa-apa. Segala konsentrasi fikiran, perhatian, perasaan,
penglihatan, pendengaran dan sebagainya diarahkan tertuju hanya kepada Allah.
Tidak acara kepada selain selain Allah. Hanya Allah.
Untuk memahaminya secara benar, lihat juga halaman 127 – 128 :
Ada yang menggunakan istilah “LAA MAUJUDA ILLALLAH” tiada
yang wujud kecuali Allah. Artinya, “Karena kuatnya konsentrasi hanya
kepada SATU yakni ALLAH, maka yang lain tidak kelihatan. Tidak kelihatan pandangan mata hati. Bukan mata lahir.
Yang kelihatan hanya Allah. Dirinya sendiripun tidak kelihatan. Sehingga
mudahnya dikatakan, selain ALLAH tidak wujud, yang wujud hanya ALLAH”.
Dalam redaksi diatas, dengan jelas terdapat ungkapan :
“Karena kuatnya
konsentrasi hanya kepada SATU yakni ALLAH ....... dan seterusnya”.
h.
Didorong keinginan Gus
untuk menganggap janggal kepada kami, membuat sampeyan terutup mata, hati dan
fikiran dari keterangan buku kami pada halaman 129. Padahal jika Gus
membacanya, akan terlihat dengan jelas istighraq kami berdasar aqidah sunny :
“Ada lagi yang memakai istilah manunggaling kawulo lan
Gusti = menyatunya hamba dengan Tuhan. Dalam ilmiyah tasawuf ada yang memakai
istilah “ittihad”, Ittihad bihulul (kemanuggalan dalam bentuk penjelmaan Tuhan
ke dalam diri manusia) dan Ittihad bi wahdatil wujud (kemanunggalan manusia
dalam diri Tuhan).
Akan tetapi, kami
berpendapat istilah-istilah tersebut sangat tidak tepat, terlalu jauh dari
kenyataan yang haqiqi. Sebab didalam istilah “manunggal” atau istilah “ittihad”
masih ada dua unsur : yaitu kawulo dan Gusti atau manusia/ hamba dan Tuhan.
Padahal hakikatnya hanya SATU !. ALLAH TUHAN !. Titik”.
Arah dan maksud
redaksi, adalah terfokus pada redaksi : Akan tetapi, kami berpendapat istilah-istilah ...........
dst. Artinya, ittihad, hulul dan wahdatul wujud bukan amalan kami. Dan
kami menganggapnya TIDAK TEPAT.
i.
Gus, coba bandingkan, sama atau tidak dengan makna
redaksi dalam buku DEMENSI
DOKTRINAL, DIFA ’07 Madrasah Diniyah PP Hidayatul Mubtadi-ien Lirboyo
Kediri, bagian I (dalam ulasan Manunggaling Kawulo Gusti) dijelaskan:
Sebab puncak dari ajaran tasawuf adalah
peng-Esa-an Allah (tauhid) dengan menafikan semesta wujud selain Dia (Huwa)
yang melampui doktrin hulul dan ittihad yang
masih melihat dualitas wujud yang lantas salah satunya masuk
(hulul) atau menyatu (ittihad) pada yang lain”.
@ Jika Gus menganggap TIDAK SAMA,
bagaimana cara Gus memahami redaksi yang menggunakan bahasa Indonesia
yang semudah itu ?.
@ Jika Gus menganggap SAMA, mengapa hanya
buku kami yang dianggap JANGGAL, sedangkan buku Demensi Doktrinal, TIDAK
dianggap janggal ?.
1.
Penjelasan terhadap
: terjemahan Qs. al-Qashash : 88.
a.
Kami mencantumkan
ayat ini, karena maknanya dapat dikorelasikan dengan praktek istighraq kami,
dengan berdasar kepada
1.
kitab Kifayatul
Awam-nya Syeh Ibrahim al-Baijuri Ra, dalam ulasan sifat wajibnya Allah Swt
“wujud”, halaman 27, yang menerangkan :
وَاخْتُلِفَ
هَلْ يَجُوْزُ إِطْلاَقُهُ عَلَيْهِ تَعَالَى أَمْ لاَ ؟. فَالصَحِيْحُ الأَوَّلُ.
كَمَا يَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالَى : قُلْ أَيُّ شَيْئٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً
قُلِ اللهُ, وَقَوْلُهُ : كُلُّ شَيْئِ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ, وَهُوَ تَعَالَى
شَيْئٌ لَكِنْ لاَ كَالأَشْيَاَءِ.
Dan ulama
berbeda pendapat tentang kata boleh atau tidak “syai’/ sesuatu” dimutlakkan
juga kepada Allah Ta’ala ?. Yang benar, adalah pendapat yang pertama (boleh).
Sebagaimana tercermin dalam firman-Nya : قُلْ
أَيُّ شَيْئٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً, قُلِ اللهُ : Tanyakan :
adakah sesuatu yang lebih besar kesaksiannya, katakanlah : Allah (adalah
saksi utama antara kita – Qs. al-An’am :19), dan firman-Nya : كُلُّ شَيْئِ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ
: segala
sesuatu pasti hancur kecuali Dzat Allah (Qs. al-Qashah : 88). DIA adalah
“sesuatu (MAUJUD)”. Namun tidak seperti sesuatunya (makhluk). Maka, tidak bisa
disamakan sesuatunya DIA dengan selain DIA.
Kesimpulan,
a.
Yang janggal adalah cara berpikirnya Gus berdua.
Dan sangat bukan buku kami.
b.
Guru Pembimbing kami (Beliau Hadlratul Mukarrom Kanjeng
Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok
Pesantren Kedunglo), membimbingkan : bahwa ISTIGHROQ AHADIYAH/ LAA MAUJUDA
ILLALLAH yang kami praktekkan, adalah dalam ranah DZIKRULLAH (khafi).
------------------------------
III.
Tanggapan terhadap kejanggalan ketiga.
Pada poin
ini Gus Thoifur menyatakan :
Pada halaman 38,39 PEDOMAN POKOK-POKOK AJARAN WAHIDIYAH disitu membuat syari'at nidak berdiri dengan menghadap
empat arah bahkan mewajibkan hal tersebut, yang kami janggalkan adalah dalil yang di pakai (yaitu surat ali imron
ayat 95,98 dan surat alhaj ayat 27), padahal tidak semua syariat yang di
turunkan kepada Nabi sebelum Nabi MUHAMMAD SAW. Itu secara otomatis menjadi syariat bagi ummatnya Nabi
MUHAMMAD SAW, buktinya ketika di zaman Nabi
ADAM AS. diantara putra beliu boleh
nikah dengan putra yang lain tetapi di dalam syariat Nabi kita hal
tersebut di haramkan.
Kami menjelaskan :
a.
Kami TIDAK MEMBUAT
syariat baru.
b.
Nida’ empat arah, adalah
SYARIAT Nabi Ibrahim As. Dan kemudian oleh Beliau Hadlratul Mukarrom Mbah KH.
Abdul Madjid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Sholawat Wahidiyah, diamalkan sebagai
TABARUKAN dan TAWASSULAN kepada Nabiyullah Ibrahim As.
c.
Pengambilan ini
dibolehkan oleh kaidah Islam. Yakni : Syariat kaum dahulu, dapat menjadi
syariat bagi kita, dengan syarat, antara lain
: [1]
1.
tercantum dalam
al-Qur’an atau hadis.
2.
Tidak adanya
kontradiksi antara dua syariat yang berbeda.
3.
Hukum tersebut telah
ditetapkan (diamalkan) oleh syariat terdahulu.
4.
belum dihapus atau
diganti dengan syariat kita.
Dan dalam kitab Ilmu Ushuul al-Fiqh-nya Abdul Wahhab Khalaf, pada
bahasan syariat kaum sebelum kita, diterangkan :
فَقَالَ جُمْهُوْرُ الحَنَفِيَّةِ وَالمَالِكِيَّةِ
وَالشَافِعِيَّةِ : أَنَهُ يَكُوْنُ
شَرْعًا لَنَا وَعَلَيْنَا إتْبَاعُهُ, مَا دَامَ قَدْ قَصَّ عَلَيْنَا وَلَمْ
يَرِدْ فِي شَرْعِنَا مَا يُنْسِخُهُ, لأَنَّهُ مِنَ الأَحْكَامِ الإِلَهِيَّةِ
التِي شَرَعَهَا اللهُ عَلَى أَلْسِنَةِ رُسُلِهِ. وَقَالَ بَعْضُ العُلَمَاءِ :
إِنَّهُ لاَ يَكُوْنُ شَرْعًا لَنَا لأَنَّ شَرِيْعَتِنَا نَاسِخَةٌ لِلشَرَائِعِ
السَابِقَةِ, إِلاَّ إِذَا وَرَدَ فِي مَا يُقَرِّرُهُ. وَالْحَقُّ المَذْهَبُ
الأَوَّلُ, لأَنَّ شَرِيْعَتِنَا إِنَّمَا نَسَخَتْ مِنَ الشَرَائِعِ السَابِقَةِ مَايُخَالِفُهُ
فَقَطْ.
Jumhur ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat :
Sesungguhynya (sayriat kaum sebelum kita) menjadi syariat kita, dan kita patut
mengikutinya, selama syariat tersebut, jelas diceritakan (bukan mereka-reka) kepada kita, serta
didalam syariat kita tidak ada yang menghapuskannya. Karena ia termasuk bagian
dari hukum-hukum Tuhan yang disyariatkan Allah melalui lisan para rasul-Nya.
Sebagian ulama berpendapat : Sesungguhnya (syariat sebelum
kita) tidak dapat dijadikan syariat bagi kita. Karena syariat kita (Islam)
menjadi penghapus kepada syariat yang dulu, kecuali ada dalil yang menetapkan
sebagai syariat kita.
Dan yang benar, adalah madzhab pertama. Karena syariat
kita, jika menghapus syariat kaum yang dulu, hanya kepada syariat yang
bertentangan saja.
d.
Amalan dalam Islam
terbagi kedalam dua bagian : mahdlah dan ghairu makhdloh. Dan yang ghairu
mahdlah, dapat dianggap bid’ah (terlarang) selama tidak memiliki dalil syar’i,
baik hukumnya wajib atau sunnah, serta baik dilaksanakan zaman Rasulullah Saw
atau tidak. (kitab al-Fatawa al-Haditsiyah, Imam Ibnu Hajar
al-Haitami, halaman 200).
e.
Pernyataan Gus
“bahkan mewajibkan hal tersebut”, adalah BUATAN GUS
SENDIRI. Karena kepada pengamal Wahidiyah, kami tidak pernah “MEWAJIBKAN”
pelaksanaan nidak empat arah tersebut.
f.
Dalam pernyataan (buktinya
ketika di zaman Nabi ADAM AS. diantara putra beliu boleh nikah dengan putra yang
lain tetapi di dalam syariat Nabi kita hal tersebut di haramkan) ini, sampeyan Gus
TERLALU GEGABAH. Pernyataan sampeyan ini SANGAT-SANGAT SALAH. Dan karenanya,
kami berkata, Na’udzu Billah.
Kerena dalam al-Qur’an terdapat ayat yang dengan jelas me-nasakh
(merevisi) syariat Nabi Adam As tersebut, dan menggantinya dengan syariat baru.
Sebagaimana dalam Qs. an-Nisa : 23 : حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ : Diharamkan kepadamu semua (menikahi) ibu-ibu kamu, anak-anak kamu dan saudara
kamu (sekandung, seayah atau seibu).
Kesimpulan :
a.
Amalan nida’ empat arah, merupakan amalan yang sah dalam
kaidah hukum Islam. Dan, berdasar pengalaman dilapangan hasilnya sangat baik.
b.
Kami tidak pernah mewajibkan amalan nida’ 4 penjuru.
c.
Guru Pembimbing kami, Beliau Hadlratul Mukarrom Kanjeng
Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok
Pesantren Kedunglo, membimbingkan : Ketika memanggil ummat dalam nida 4
arah, dimulai dari memanggil dirinya sendiri, keluarga, ummat masarakat tanpa
pandang bulu, agar cepat-cepat sadar dan mengabdikan diri kepada Allah wa
Rasulihi Saw. ------------------
IV.
Tanggapan terhadap kejanggalan keempat.
Pada poin
ini Gus Thoifur menyatakan :
Pada halaman 37 PEDOMAN POKOK-POKOK AJARAN WAHIDIYAH di
sebutkan bahwa dalil "KECAMAN TERHADAP
YANG TIDAK MENANGIS" adalah alquran
s. annajmu 59-61 dan hadits:
Jika kita
memahami hadits tersebut "Orang yang di dunia berbuat
maksiat dengan tertawa maka besok di akhirot masuk neraka
dengan menangis", jadi menangisnya BESOK KETIKA MASUK NERAKA tidak di dunia, kenapa WAHIDIYAH mengecam yang tidak menangis dalam mujahadah dengan memakai dalil tersebut ?
Kami menjelaskan :
1.
Penjelasan pernyataan : jadi menangisnya BESOK KETIKA MASUK NERAKA tidak di dunia”.
a.
Dalam kitab al-Ghun-yah (Syeh Abdul Qadir
al-Jailani Ra), juz I bab “al-Itii’adz bi Mawa’idzil Qur’an”
pada pasal ke 20. Dijelaskan;
Nabi Daud menangis DIDUNIA selama 40 hari, hingga tanah yang kejatuhan air mata
beliau tumbuh rumput.
b.
Redaksi hadis yang
dimaksud adalah : مَنْ أَذْنَبَ
وَهُوَ يَضْحَكُ دَخَلَ النَارَ وَهُوَ يَبْكِي
: Barang siapa berbuat dosa sedangkan ia masih sempat
tertawa, maka dia masuk neraka dengan menangis (lihat dalam buku kami pada halaman yang sama).
c.
Dalil ini bukan
dalil utama. Kami menempatkannya karena ada SYAHID dari dalil lain yang lebih
kuat.
d.
Ternyata Gus,
memaknai hadis ini dengan cara SERAMPANGAN. Padahal banyak hadis yang
menjelaskan keutamaan menangis karena Allah Swt DIDUNIA.
e.
Dan hadis ini juga dapat
dimaknai dengan :
1.
menangisnya orang diakhirat
bukan karena penyesalan taubat. Tapi karena penyesalan yang sudah tidak ada
artinya serta karena siksaan yang pedih dari Allah. Sedangkan menangis pengamal
Wahidiyah didunia, bukan karena mendapat siksaan Allah, tetapi karena
penyesalan taubat untuk mendapatkan ampunan Allah Ta’ala.
2.
Dan mafhum-nya,
agar diakhirat tidak menangis karena siksaan dan penyesalan yang tiada berarti,
maka penyesalan taubat dengan menangis kepada Allah DIDUNIA, merupakan sebagian
dari taubatan nasuha.
لاَ يَلِجُ النَارَ رَجُلٌ بَكَى مِنْ خَشْيَةِ اللهِ
حَتَّى يَعُودَ اللَبَنُ فِي الضَرْعِ
Tidak akan menginjak neraka seseorang
yang menangis karena takut kepada Allah, sehingga air susu kembali keteteknya.
g.
Demikian juga Qs.
an-Najm : 59 – 61, kami posisikan pada bab ini karena ada dalil SYAHID dari
dalil lain yang lebih kuat. Antara lain :
Rasulullah Saw bersabda (HR. Imam Bukhari) : [3]
مَنْ ذَكَرَ اللهُ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
مِنْ خَشْيَةِ اللهِ حَتَّى يُصِيْبَ الأَرْضُ مِنْ دُمُوعِهِ لَمْ يُعَذِّبْهُ
يَوْمَ القِيَامَةِ
Barang siapa yang ingat Allah kemudian
mengalir airmatanya dari takut kepada Allah hingga bumi kejatuhan airmatanya,
maka Allah tidak akan menyiksanya dihari kiamat.
Dan dalam tafsiran Imam Nasafi (tafsir an-Nasafi)
:
(أفَمِنْ هَذَا الحَدِيْثِ) أي القرأن (تَعْجَبُوْنَ) إنكارا (وَتَضْحَكُوْنَ) إستهزاء (وَلاَ تَبْكُوْنَ) خشوعا (وَأَنْتُمْ
سَامِدُونَ)
Jika makna ayat dan makna hadis
diatas dikorelasikan, maka maknanya bukan seperti persepsi Gus yang
SERAMPANGAN. Akan tetapi “orang yang tidak mempercayai kandungan al-Qur’an
(baik yang berkaitan dengan tabsyir maupun tandzir), mereka akan
menghina (tertawa dengan ejekan) serta tidak menangis (sambil menundukkan wajah
lahir maupun batin) DIDUNIA, akan mengakibatkan mereka menangis DIAKHIRAT.
@ Kami bertanya : salahkah pemasukan
ayat tersebut kedalam bab menangis.
h.
Menangis
DIDUNIA karena Allah, merupakan tuntunan Rasulullah Saw.
Nabi Saw bersabda : لَوْ
أَنَّ بُكَاءَ دَاوُدَ وَبُكَاءَ جَمِيْعِ أَهْلِ الأرْضِ يُعْدَلُ بِبُكَاءِ
آدَمَ مَا عَدَلَهُ: Sesungguhnya
jika tangisan Nabi Daud dan tangisan seluruh ahli bumi dibandingkan dengan
tangisan Nabi Adam, maka belum membandinginya. [4]
Beliau berdoa : أللهُمَّ ارْزُقْنِي عَيْنَيْنِ هَطَالَتَانِ :
Ya Allah, berilah aku dua mata yang mudah menangis. (HR. Bakir Abdullah al-Asyaj). [5] Dan,
لَو أَنَّ دُمُوعَ اَهْلِ الأَرْضِ
جَمَعَتْ لَكَانَتْ دُمُوْعُ دَاوُدَ أَكْثَرُ. لَو أَنَّ دُمُوعَ دَاوُدَ وَ
دُمُوعَ اَهْلِ الأَرْضِ جَمَعَتْ لَكَانَتْ دُمُوْعُ اَدَمَ أَكْثَرُ.
Bila dikumpulkan tetesan air mata Nabi Daud As lebih banyak
bila dibandingkan dengan tetesan airmata seluruh penduduk bumi. Dan tetasan
airmata Nabi Adam As lebih banyak dari pada keduanya.[6]
Sehubungan dengan hadis ini, Syeh Abdul Qadir Jailani Ra,
mengatakan :
وَعَلاَمَةُ صَحَّةُ النَدَمِ : رِقَّةُ القَلْبِ,
وَغَزَارَةُ الدَمْعِ. قَالَ النَبِي
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ : جَالِسُوا التَوَّابِيْنَ فَإِنَّهُمْ
أَرِقُّ أَفْئِدَةٍ.
Tanda-tanda benarnya penyesalan : kepekaan hati, derasnya
airmata. Nabi Muhammad Saw yang bersabda :“Duduklah kalian bersama orang-orang
yang bertaubat. Sesungguhnya mereka sehalus-halusnya perasaan”.
Semestinya, jika Gus menganggap JANGGAL terhadap
amalan menangis, seharusnya : menunjukkan dalil yang melarangnya. Atau menyalahkan
juga kepada para ulama yang menganjurkan menangis karena Allah, yang tertulis
dalam kitab mereka.
2.
Penjelasan
terhadap pernyataan : kenapa WAHIDIYAH
mengecam yang
tidak menangis dalam mujahadah dengan memakai dalil tersebut ?.
Kami menjelaskan : Gus
benar-benar TIDAK OBYEKTIF dalam memberi kesimpulan dalam buku kami. Karena, arah
kecaman dalam buku kami BUKAN “dalam mujahadah”, tetapi mengikuti arah makna
dalil. Yakni ditujukan kepada orang berdosa !. Titik !. Jika pakai untuk dalil menangis, bersifat
sebagai penguat, karena ada dalil syawahid lain yang lebih kuat.
@ Kami bertanya : Gus, apakah sampeyan memang tidak bisa
menganalisa (bedah) buku agama dengan manhaj (metodologi) yang benar ?.
Kesimpulan :
a.
Menangis karena Allah Swt merupakan sunnah para nabi dan
rasul As.
b.
Kedua dalil tersebut disyahidi oleh dalil yang lebih kuat serta maknanya lebih jelas.
--------------------
V.
Tanggapan terhadap kejanggalan kelima.
Pada poin
ini Gus Thoifur menyatakan :
Pada
halaman 21 PEDOMAN POKOK-POKOK AJARAN WAHIDIYAH di situ terdapat
keterangan bahwa yang mengangkat sulthonul
auliya' atau qutbul aqthob atau
ghoutsuzzaman adalah ALLOH sendiri dan
tidak ada keterangan-keterangan
tentang identitas untuk dapat mengenalnya secara lahiriyah, tetapi kenapa
WAHIDIYAH (KH. ABDULLATIF MAJID) berani
menyatakan bahwa muallif solawat wahidiyah sebagai SULTHONUL AULIYA' FII ZAMANIHI / GHOUTSU HAZDAZZAMAN sebagaimana tertera dalam majalah Aham (edisi 94 TH.x Robi'ul awal
1432/2011), atas dasar apa beliau menyatakan
bahwa muallif solawat wahidiyah adalah sulthonul auliya'/ghoutsuzzaman, dan juga beliau sendiri melanggar prinsip pokok ajaran wahidiyah.
Sebelum menjelaskan
poin diatas, terlebih dahulu kami menjelaskan tentang hal yang ada kaitannya
dengan keberadaan al-Ghauts Ra.
a.
Cirri-ciri batiniyah
para waliyullah Ra hanya dapat dipahami oleh orang yang mengalaminya, atau oleh
mereka yang benar-benar menjadi pengikutnya.[8]
b.
Ketarangan dari
al-Qur’an, hadis maupun fatwa para ulama banyak sekali yang mengabarkan tentang
cirri-ciri waliyullah, baik yang lahir maupun yang batin.
Diantara cirri-ciri tersebut :
1.
Tidak
memililiki perasaan gundah gulana, dapat menerapkan hakikat (iman) dan syariat
(taqwa) secara serempak bersama-sama dan mendapat anugrah “busyro” dari Allah
Swt.
Sebagaimana
tercermin dalam firman Allah Swt , QS. Yunus, 62–64 :
اَلاَ اِنَّ اَوْلِيَاءَ اللهِ لاَخَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُوْنَ, الذِيْنَ اَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُوْن.
لَهُمُ البُشْرَى فِي الحَيَاةِ الدُنْيَا وَالأَخِرَةِ.
Dijelaskan
makna لَهُمُ
البُشْرَى فِي الحَيَاةِ الدُنْيَا : Bagi
mereka anugarah busyra (sesuatu yang menggembirakan hati) didunia, adalah “pengalaman ruhani”. Sebagaimana dalam keterangan hadis : الرُؤْيَا الصَالِحَةِ يَرَاهَا المُسْلِمُ أَوْ
تُرَى لَهُ
: pengalaman ruhani yang baik, yang orang muslim melihatnya atau
dilihatkan kepadanya. (HR. Ahmad, (Risyah
al-Qusyairiyah, rukyatul qaum).
2.
Ma’rifat
BILLAH, istiqamah dalam melakasanakan perintah dan meninggalkan larangan serta
tidak tertipu oleh kehidupan duniawi.
وَالأَوْلِيَاءُ
جَمْعُ وَلِيٍّ : وَهُوَ العَارِفِ بِاللهِ وَصِفَاتِهِ حَسْبَمَا يُمْكِنُ
المُوَاظِبُ عَلَى الطَاعَاتِ المُجْتَنِبُ المَعَاصِي المُعَرِّضُ عَنِ
الإِنْهِمَاكِ فِي اللَّذَاتِ وَالشَهَوَاتِ.
Auliya’
adalah jama’ dari kata wali :adalah orang yang makrifat billah dan
sifat-sifat-Nya, mereka tekun menjalankan ketaatan, menjauhi maksiat dan
berpaling dari tipuan kelezatan dunia dan syahwat (kitab
Sirajut Thalibin juz I halaman 15).
3.
Ma’rifat
Birrasul
لَمْ
تَكُن الاَقْطَابُ اَقْطَابًا وَالاَوْتَادُ اَوْتَادًا وَالاَوْلِيَاَءُ
اَوْلِيَاءً الاّ بِمَعْرِفَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم
Tidak dapat
dinamakan wali quthub, wali autad dan waliyuulah, kecuali telah ma’rifat kepada Rasulullah Saw (Birrasul). (Imam Suyuthi, kitab al-Hawi lil Fatawi, juz II, bahasan ke 70).
c.
Secara umum, dan
kebanyakan mereka dapat mengetahui pribadi waliyullah Ra, berdasar dari
pengalaman ruhani yang baik. Dan kuwalitas pengalaman ruhani adalah sah.
d.
Pengalaman ruhani
itu dapat dijadikan pegangan bagi kaum sufi (kitab al-Fatawa al-Haditsiyah,
Imam Ibnu hajar al-Haitami, halaman 235)
Rasulullah Saw bersabda, HR. Bukhari (Shahih):
1. الرؤيا الصالحة من الله والحلم من الشيطان: mimpi yang
baik itu dari Allah. Sedangkan
mimpi yang tidak baik itu dari setan (nh : 3049), 2. الرؤيا
الحسنة من الرجل الصالح جزء من ستة وأربعين جزءا من النبوة
: mimpi yang baik dari lelaki yang shalih, merupakan bagian
dari 1/46 hal kenabian (nh : 6468), 3. لم
يبق من النبوة الاَّ المبشرات. قالوا وما المبسرات ؟. قال : الرؤيا الصالحة: Tidak tetap (ada) lagi kenabian
kecuali mubasyirat. Para sahabat bertanya : apa itu mubasyirat ?. Beliau
bersabda : mimpi yang baik (nh : 6475), dan 4. إذا
اقترب الزمان لم تكد رؤيا المؤمنMendekati zaman kiamat,
janganlah kamu tergesa-gesa mendustakan mimpinya orang mukmin. (nh : 6499).
e.
Syeh Abdul Wahhab a-Sya’rani Ra berdasar kasysyaf-nya,
mengetahui kalau Guru ruhaninya (Syeh Ali al-Khawas Ra) dan guru dari gurunya
(Syeh Ibrahim al-Matbuli Ra) adalah waliyullah tinggkat tinggi, karena beliau
Ra berdua sering bersama Rasulullah Saw.
f.
Pemahaman kassyaf semacam ini banyak
diperoleh para ulama kaum sufi tentang pribadi para Pendiri Thariqah
(Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syadzaliyah, Kubrawiyah, Tijaniyah, Idrisiyah,
Syattariyah) adalah al-Ghauts Ra.
@ Kami bertanya kepada Gus :
Apakah menurut sampeyan beliau-beliau pada poin h dan i melakukan hal
yang salah, hingga fatwanya sampeyan batalkan ?.
Adalah Ibnus Saqa. Beliau
seorang ulama yang memiliki cirri lahiriyah yang sangat mengagumkan, dan lagi
sangat terkenal. Beliau juga ahli debat yang tidak ada tandingannya, bahkan
sampai-sampai para tokoh non muslim-pun mengakuinya, karena mereka senantiasa
kalah berdebat dengan Ibnus Saqa. Namun, akhirnya Ibnus Saqa MATI dengan mati
dalam keadaan “tidak beriman”, dan Na’udzu Billah.
Keadaan tragis yang dialami oleh Ibnu Saqa tersebut, disebabkan oleh
sikap su’ul adab-nya kepada al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abu Ya’qub Yusuf
al-Hamadzani Ra (kemudian selanjutnya kami tulis dengan Syeh), yang secara
lahiriyah tidak tampak pertanda ke-Ghautsiyah-an Beliau Ra.
Waktu itu, Ibnus Saqa sangat ingin bertemu dengan Syeh. Namun
pertemuannya itu, hanya untuk mencoba sejauh mana ilmu dan kemampuan yang
dimiliki oleh Syeh.
Syeh al-Hamadzani Ra adalah guru dari al-Ghauts fii Zamnihi Syeh Abdul
Qadir al-Jailani Ra). Syeh Abdul Qadir Jailani Ra (yang memahami secara
batiniyah tentang keberadaan Syeh), ketika menghadap kepangkuan Syeh, tidak ada
yang diharapkan, kecuali untuk mohon doa restu Syeh, serta menata adab yang
sempurna.
h.
Dalam kitab al-Hawi
lil Fatawi (Imam Suyuthi, bab “khabar ad-daal ‘ala al-quthbi”), menerangkan
nama waliyullah yang diketahui melalui pengalaman ruhani. Mereka antara lain :
Imam Syafii, Muhammad bin Wasi’, Hassan Abu Sinan dan Malik bin Dinar.
i.
Beberapa pengamal
Wahidiyah mimpi bertemu Rasulullah Saw yang bersabda (inti sarinya) : Kiyai
Abdul Madjid Shahibus Shalawatil Wahidiyah itu Sulthanul Auliya.
Diantara pengamal yang mendapatkan pengalan ruhani yang baik tentang ke-Ghautsiyah-an
Beliau Muallif Shalawat Wahidiyah :
1.
Al-Maghfurlah Mbah
Jazuli Usman Ploso Kediri (PP al-Falah).
2.
Al-Maghfurlah Gus
Mik Ploso Kediri (PP al-Falah).
3.
Al-Maghfurlah Bapak
KH. Muhammad Asyik Sirodj Mabruri (Pengasuh PP “Subulas Salam”, Selobekiti
Wonosari Malang).
4.
Mbah Mundzir (PP
Ma’unah Sari Kota Kediri).
1.
Penjelasan terhadap pernyataam : tetapi kenapa WAHIDIYAH (KH. ABDULLATIF MAJID) berani menyatakan bahwa muallif solawat wahidiyah
sebagai SULTHONUL AULIYA' FII
ZAMANIHI / GHOUTSU HAZDAZZAMAN
atas dasar apa beliau menyatakan bahwa
muallif solawat wahidiyah adalah sulthonul auliya'/ghoutsuzzaman.
a.
Beliau
Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok
Pesantren Kedunglo, menyatakan Ghautsiyah-nya Mbah KH. Abdul Madjid
Ma’ruf Muallif Shalawat Wahidiyah Qs wa Ra, berdasar :
1.
Pengalaman ruhani
para pengamal Wahidiyah dari beberapa daerah.
2.
Rukyah Shalihah
dari al-Maghfurlah Mbah KH. Jazuli Usman (Pengasu PP “al-Falah” Ploso Mojo
Kediri).
b.
Pernyataan Gus
(kenapa
WAHIDIYAH (KH. ABDULLATIF MAJID) berani
menyatakan bahwa muallif solawat wahidiyah sebagai SULTHONUL AULIYA' FII ZAMANIHI / GHOUTSU HAZDAZZAMAN), menunjukkan Gus kurang adil dalam bersikap.
@ Mengapa
pernyataan “kejanggalan” seperti itu, tidak diarahkan juga kepada “kita semua” yang meyakini kewalian
seseorang, atau menyatakan bahwa pendiri kebanyakan tarekat adalah al-Ghauts
Ra ?.
c.
Kami bertanya; Apakah
Gus akan menanyakan kepada mereka dibawah ini, atas dasar apa mereka meyakini
kewaliyan seseorang ?. Misalnya
kepada :
1.
Kita semua warga
NU, berani menyatakan bahwa para WALI SONGO adalah waliyullah, al-Mukarrom
Hadlratus Syeh Mbah Kholil Bangkalan Madura, Mbah Syamsuddin Batuampar Madura
adalah waliyullah.
2.
Kami dan masarakat
dilingkungan daerah kami, berani menyatakan bahwa Hadlratul Mukarrom Mbah Hamid
Pasuruan adalah waliyullah.
3.
Masarakat jawa
tengah banyak yang menyatakan; Mbah Asnawi Kudus, Mbah Maksum Lasem dan Mbah
Hasan Mangli Megelang adalah waliyullah.
4.
Dalam wirid Dzikrul
Ghafiliin-nya al-Mukarrom Gus Mik, juga menyebut; Syeh Abdul Qadir
al-Jailani Ra, Sayyid Abdullah al-Haddad Ra, dan Syeh Abdus Salam bin Masyisy
Ra adalah al-Ghauts.
5.
Para pengamal
tarekat naqsyabandiyah menyatakan Syeh Bahauddin an-Naqsyabandi Ra, Syeh Amir
Kulal Ra (guru Imam Naqsyabandi) dan Syeh Baba as-Samasy (guru Syeh Kulal)
adalah al-Ghauts.
6.
Syeh Yusuf
an-Nabhani Ra berani menyatakan; Syeh Abul Hasan Syadzali (w. 658 H), Syeh Abul
Abbas al-Mursyi (murid Imam Syadzali) dan Syeh Ibnu Athaillah as-Sakandari Ra (murid
Syeh Mursyi) dan ulama lainnya adalah al-Ghauts Ra. (kitab Syawahid
al-Haq Afdlalus Shalawat).
7.
Dalam kitab Mawahib
as-Saniyah-nya [10] Syeh Abdullah Sulaiman al-Jarhazi as-Syafi’i (syarh faraidul
bahyah), dalam muqaddimah diterangkan; bahwa Syeh Umar al-Ahdali adalah Ghauts”.
@ Kami bertanya; salahkah seseorang yang
memberitakan mimpinya bertemu Rasulullah Saw yang memberitahu tentang
Ghautiyah-nya Mbah KH. Abdul Majid Makruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah
?. Jika Gus mengatakan: SALAH. Kami juga mengatakan; Gus sendiri yang
SANGAT-SANGAT SALAH.
2.
Penjelasan terhadap
: “dan juga beliau sendiri
melanggar prinsip
pokok ajaran wahidiyah”.
a.
Kami sebagai
pengamal Wahidiyah, yang memahami prinsip-prinsip Wahidiyah, memberitahukan
kepada Gus, bahwa informasi tentang Ghautsiyah Mbah KH. Abdul Madjid
Ma’ruf Qs wa Ra dari Beliau Hadlratul Mukarrom Kanjeng Romo KH. Abdul Latif
Madjid Ra, “tidak melanggar ajaran Wahidiyah”.
b.
Gus yang belum menjadi pengamal Wahidiyah – dalam
berkelitnya lidah dan pikir -bersikap seperti pengamal Wahidiyah. Namun ketika
bedah buku bersikap menjanggalkan.
@ Kami bertanya : Gus, apakah kepada para ulama yang
menulis nama waliyullah dalam kitabnya, sampeyan juga menganggap melanggar
aturan agama,?.
Kesimpulan :
a.
Kejanggalan Gus, terlahir dari pemikiran sendiri,
bukan dari informasi tentang Ghautsiyah.
b.
Berdasar rukyah shalihah, kami pengamal Wahidiyah, yakin
seyakin-yakinnya bahwa Hadlratul Mukrram. Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra
Muallif Shalawat Wahidiyah adalah al-Ghauts Ra.
c.
Meremehkan WALIYULLAH, hukumnya HARAM, bahkan bisa
menjadi KUFUR. (buku Pemsalahan Thariqah, Jam’iyah Ahlit Thariqah
al-Mu’tabarah NU, permasalahan 165). ------.
VI.
Tanggapan terhadap kejanggalan keenam.
Pada poin
ini Gus Thoifur menyatakan :
Pada
halaman 144 KULIAH WAHIDIYAH Ada keterangan bahwa ghautsu zaman di karuniai hak
dan wewenang yang disebut JALLAB - SALLAB yang mana arti jallab= menarik mengangkat meningkatkan iman dan
drajat seseorang, sallab = mencabut/ melorot martabat iman seseorang, mana dasar atau dalilnya padahal nabi saja
tidak mampu membuat / menarik iman seseorang.
Kami menjelaskan :
1.
Penjelasan terhadap pernyataan : mana dasar atau dalilnya.
a.
Gus, pertanyaan sampeyan ini, sama saja
“men-SALAH-kan prinsip dalam kitab manaqib Syeh Abdul Qadir Ra, dan isi kitab
Kifayatul Awam yang banyak dibaca dipondok pesantren Indonesia dan system
dalam semua thariqah.
b.
Gus juga telah bertentangan dengan keputusan Muktamar
Jam’iyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah, yang berkaitan dengan
“hal yang semakna” dengan SALLAB -JALLAB.
@ Kalau memang Gus tidak seperti diatas, kami bertanya;
apakah Gus juga sudah atau akan menganggap JANGGAL kepada kedua kitab
tersebut, kepada keputusan muktamar tersebut dan kepada system thariqah ?.
c.
Makna
‘sallab” sepadan dengan arti KUWALAT atau KESIKU.
d.
Secara
tersirat, Qur’an dan hadis telah menjelaskan adanya karomah jallab dan sallab
yang dimiliki oleh para kiai, ulama, waliyullah, dan al-Ghauts Ra. Pemahaman
adanya karomah ini, telah terimplemantasi dalam sikap para kaum sufi, atau para
santri dalam setiap pesantren di Indonesia. Mereka sangat menjaga adab kepada
Guru dan Kiai, agar dapat barokah (jallab)-nya dan tidak KUWALAT (ter-sallab).
e.
Diantara
penjelasan adanya karomah “SALLAB” yang dimiliki para kiai, ulama, waliyullah
dan al-Ghauts Ra, baik secara tersurat atau tersirat terdapat dalam :
1.
HR.
Imam Bukhari, Rasulullah Saw bersabda : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا
فَقَدْ
أَذَنْتُهُ بِالحَرْبِ
2.
Syeh
Abdul Qadir al-Jailani Ra, berfatwa :
أَنَا نَارُ اللهِ
المُوقَدَةُ أَنَا سَلاَّبُ الأَحْوَالِ : Aku ibarat apinya Allah yang
dinyalakan. Aku adalah pencabut/ menurunkan kondisi batin para salik {orang yang jiwanya menuju Allah}.
Al-Maghfurlah Mbah KH. Muslih Abdur Rahman
(mantan rais jam’iayah ahlit thariqah an-nahdliyah) dalam kitabnya Nurul
Burhan menjelaskan :
(أَنَا
نَارُ اللهِ المُوقَدَةُ) أَي فمن أذاني وأصابني بما يؤذيني فقد
هلك لأن النار إذا أصابت شيئا أحرق وهلك (أَنَا
سَلاَّبُ الأَحْوَالِ) أي كثير الإزالة مقامات العباد
والأولياء الذين لم يتأدبوا بالأدب الكاملة.
(AKU
ADALAH API YANG DINYALAKAN) artinya; barang siapa yang menyakiti aku atau
mengupayakan sesuatu yang menyakiti aku, maka akan celaka. Karena sesungguhnya
api itu ketika menyentuh sesuatu akan membakarnya dan merusaknya. (AKU ADALAH
PENCABUT TINGKATAN HATI DALAM MAKRIFAT), artinya, banyak menghilangkan
kedudukan orang ahli ibadah dan para wali yang tidak beradab (kepada beliau)
dengan adab yang sempurna.
3.
Syeh
Abdul Aziz ad-Dabbag Ra berkata : sering para waliyullah itu menyelenggarakan
sidang. Persidangan ini kadang dipimpin oleh Rasulullah Saw dan al-Ghauts Ra,
dan kadang oleh al-Ghauts sendiri tanpa Rasulullah Saw.
Kepada Syeh Abdul Aziz, Ibnu Mubarok
bertanya: “ketika mereka mengikuti sidang, bagaimana ahlak mereka kepada
Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra :
Syeh ad-Dabbag Ra berkata :
لاَيَقْدِرُ
أَنْ يُحْرَكَ شَفَتَهُ السُفْلَى لِلمُخَالَفَةِ فَضْلاً عَنِ النُطْقِ بِهَا,
فَإِنَّهُ لَوْ فَعَلَ ذَالِكَ لَخَافَ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ سَلْبِ الإِيْمَانِ, واللهُ أَعْلَم
Tidak mampu menggerakkan bibirnya yang bawah untuk menentang
(beliau), apalagi berbicara.
Sesungguhnya sekiranya waly melakukan hal seperti itu, pasti ia takut kalau
tercabut imannya. Wallahu a’lam. (kitab al-Ibriiz-nya Syeh Ahmad
Mubarok, hlm ; 337).
4.
Syeh
Ibrahim al-Baijuri (kitab Kifayatul Awam, pada bahasan sifat wajib Allah
Swt yang keenam “Wahdaniyah”) :
وَأَمَّا
مَا يَقَعُ مِنْ مَوْتِ شَخْصٍ أَوْ إِيْذَائِهِ عِنْدَ اعْتِرَاضِهِ مَثَلاً
عَلَى وَلِيٍّ مِنَ الأَوْلِيَاءِ فَهُوَ بِخَلْقِ اللهِ تَعَالَى عَنْ غَضَبِ
الوَلِيِّ عَلَة هَذَا المُعْتَرِضِ.
Ketika terjadi
kematian atau sakitnya seseorang, misalnya disaat ia menentang wali dari
para waliyuulah, adalah sebab
merupakan ciptaan (kehendak) Allah Ta’ala, bersamaan dengan marahnya waliyullah
tersebut terhadap seseorang yang menentangnya.
Keterangan seperti
ini, juga terdapat dalam buku FIQIH KLENIK, yang diberi pengantar oleh
al-Mukarrom Bapak KH. A Idris Marzuki Pengasuh PP LIRBOYO Kota Kediri, hlm :
28.
5.
Dalam buku Permaslahan Thariqah
(kumpulan keputusan mu’tamar jam’iyah ahlit Tahriqah al-mu’tabarah
an-nahdliyah) pada permaslahan 38 :
S.
Bagimana hukumnya memuji sebagian wali,
disamping itu mencela wali yang lain ?.
J.
Adapun memuji tanpa membikin-bikin dan tidak bohong, maka tidak mengapa, bahkan
disunnahkan. Adapun mencela sebagian wali, hukumnya haram, bahkan menjadi dosa
besar, dan kadang menyebabkan kufur.
Keterangan dari kitab :
a. Tabshiratul Fashilin, 2. b.
Syarah al-hikam II/2.
تبصرة
الواصلين عن أصول الواصلين في صحيفة 2, ونص عبارته : وَعَلَى الطَاعِنِيْنَ
نَدَامَةٌ وَخُسْرَةٌ وَسَبَبُ سُوْءُ الخَاتِمَةِ. وَعَنْ أَنَسٍ وَأَبِي
هريرة : مَنْ أَهَانَ لِي, وروي, مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ بَرَزَنِي
بِالمُحَارَبَةِ, وفي رواية فَقَدْ أَذَنْتُهُ بِالحَرْبِ.
Tabshiratul
Fashilin, 2 : orang yang menghina wali tersebut menyesal dan merugi
dan karena hinaannya itu ia akan mati su’ul khatimah. Diriwayatkan dari
Anas dan Abu Hurairah (didalam hadis qudsi, Allah berfirman : Siapa yang
menghina wali-KU (menurut riwayat lain): Siapa yang memusuhi wali-KU
maka sungguh AKU menyatakan perang terhadapnya.
وفي
الجزء الثاني من شرح الحكم صحيفة 2, ما نص : مَنْ خَالَفَهُمْ بَعْدَ عِلْمِهِ
كَفَرَ.
Syarah al-Hikam
juz II hal. 2 : Siapa yang memusuhi mereka (para wali) setelah tahu bahwa
mereka itu para wali, maka menjadi kafir.
Perlu diketahui, tercabutnya “iman” disini
adalah atas iradah Allah Swt semata
:
·
Iman
secara dzauqiyah.
·
Hilangnya
kesadaran murid atau salik dari pemahaman bahwa pemberian Allah Swt kepada
dirinya secara hakiki terpancar melalui kiai, ulama atau al-Ghauts Ra.
·
Semakin
tipis-nya kemampuan untuk
mengamalkan ilmu agama yang dimiliki setelah suul adab kepada
beliau-beliau tersebut.
f.
Sedangkan
kata “JALLAB”, sepadan dengan makna kata “barokah” atau “doa restu” dari ulama,
kiai, waliyullah dan al-Ghauts Ra.
Fatwa
Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra berikut ini, merupakan ulasan tentang karomah jallab-nya
al-Ghauts Ra :
أَنَا بَحْرٌ بِلاَ سَاحِلٍ. يَا رِجَالُ, يَا أَبْطَالُ, يَا أَطْفَالُ
هَلُمُّوا إِلَيَّ وَخُذُوا عَنِ البَحْرِ الذِي لاَ سَاحِلَ لَهُ.
Perlu diketahui disini, makna meningkatnya
“iman” semata-mata atas iradah Allah Swt :
·
Iman
secara dzauqiyah.
·
Semakin
bertambahnya kemampuan untuk mengamalkan
ilmu agama yang dimiliki, berkat doa restu dari
beliau-beliau tersebut.
·
Tumbuhnya
kesadaran murid atau salik bahwa pemberian Allah Swt kepada dirinya secara
hakiki terpancar melalui kiai, ulama dan khususnya al-Ghauts Ra.
2. Penjelasan terhadap pernyataan : padahal nabi saja
tidak mampu membuat / menarik iman seseorang.
a. Pernyataan Gus
diatas, itu SANGAT-SANGAT SALAH.
b. Secara “lahiriyah”
Rasulullah Saw, al-Ghauts, waliyullah, ulama, kiai
dan ustadz dapat
meningkatkan iman seseorang. Sedangkan secara hakikat PENCIPTA hidayah,
adalah Allah
Swt semata. Dan, inilah
aqidah ahlussunnah wal jamaah.
c. Gus ....., pernyataan sampeyan
diatas, tidak menyatakan pandangan secara hakikat. Padahal, dalam “kejanggalan
pertama” sampeyan, menyatakan kepada kami (karena tidak di jelaskan sikap kita
dari kaca mata syariat
atau hakikot).
Gus ........., sampeyan ini ANEH. Kepada orang lain sampeyan
tuntut menyebutkan syariat dan hakikat. Namun,
kepada diri sendiri tidak menggunakannya. Aneh, tapi nyata.
@ Kami bertanya, apakah Gus lupa dengan buku yang
dikeluarkan oleh LBM NU
Jember, dengan judul “Membongkar
Kebohongan Buku Mantan Kiai NU”. Buku ini menjelaskan kedudukan Allah Swt
dan Rasulullah secara jelas dan gamblang.
d. Dari pandangan hakikat,
memang Rasulullah tidak memiliki kemampuan SALLAB – JALLAB. Namun dalam
pandangan syariat, beliau memilikinya.
Sebagaimana tercermin dalam Qs. al-Qashash : 56 :
إِنَّكَ
لاَتَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالمُهْتَدِيْنَ
Kebanyakan
mereka yang kurang memahami (boleh dibaca – anti) amalan TAWASSUL,
menggunakan ayat ini (namun salah cara mengartikannya) sebagai bagian dari
landasan berpikir dan berdalil. Padahal jika mau menengok Qs. as-Syura : 52 (وَإِنَّكَ
لَتَهْدِي إِلَى صِرَطٍ مُسْتَقِيْمٍ :
Dan sesungguhnya engkau (Muhammad), pasti
dapat memberikan hidayah kepada jalan yang lurus),
Rasulullah dapat
memberikan hidayah.
e. Ulama asy’ariyah (seperti Syeh Ahmad Zaini Dahlan,
kitab Taqribul Ushul, hlm 57 dan Syeh Kamasykhanawi, Jami’ al-Ushul
bagian “mutammimat” ulasan al-waridat), menjelaskan : ayat pertama
sebagai makna hakiki. Yakni hanya Allah pencipta hidayah. Sedangkan ayat kedua
sebagai makna syari. Yakni Rasulullah Saw merupakan pintu datangnya hidayah.
f. Sangat banyak kitab para ulama sufi yang menerangkan
karomah “Jallab/ barokah/ doa restu” yang dimiliki oleh al-Ghauts, waliyullah,
ulama dan kiai Ra, dan yang hanya diterima oleh mereka yang membutuhkan dan
meyakininya.
1.
Imam al-Ghazali Ra, (Misykatul-Anwar pasal I bahasan
“Nurul-Muthlaq”), menjelaskan :
وَهَذِهِ
الخَاصَّة تُوجَدُ لِلرُوْحِ القُدْسِي النَبَوِي إِذْ تُفِيْضُ بِوَاسِطَتِهِ أَ
نْوَارُ المَعَارِفِ عَلَى الخَلْقِ وَبِهِ تُفْهَمُ تَسْمِيَةُ اللهِ مُحَمَّدًا
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِرَاجًا مُنِيْرًا, وَالاَنْبِيَاءُ كُلُّهُمْ
سِرَاجٌ, وَكذَالِك العُلَمَاءُ
2.
Syeh Kamskhanawi Ra (kitab Jami al-Ushuul/ madhahir
al-auliya, menjelaskan :
عَبْدُ
المُعِزِّ : هُوَ مَنْ تَجَلَّى الحَقُّ لَهُ بِاسْمِهِ المُعِزِّ, فَيُعِزُّ مَنْ
أَعَزَّهُ اللهُ بِعِزَّتِهِ مِنْ أَوْلِيَائِهِ.
(Wali yang disebut) Abdul
Mu’iz/ hamba Dzat Yang Meninggikan : adalah wali yang Allah bertajalli
kepadanya dengan asma al-Mu’iz (Yang Meninggikan). Dan melalui wali ini, Allah
meninggikan/ menaikkan derajat manusia yang dikehendaki-Nya.
عَبْدُ
المُذِلِّ : هُوَ مَظْهَرُ صِفَةُ الإِذْلاَلِ, لِيُذِلَّ بِمَذْلِيَةِ الحَقِّ
كُلَّ مَنْ أَذَلَّهُ اللهُ مِنْ أَعْدَائِهِ بِاسْمِهِ المُذِلِّ الذِيْ تَجَلَّى
بِهِ لَهُ.
(Wali yang disebut) Abdul
Mudzil (hamba Dzat Yang Merendahkan) : adalah wali yang menjadi tempat
penampakan sifat-Nya yang merendahkan. Dan melalui wali ini, Allah menghinakan
orang yang dihinakan-Nya, yakni orang yang dimusuhi-Nya. Dengan asma al-Mudzil,
maka wali tersebut, bergelar Abdul Mudzil.
3.
Imam Sya’rani Ra (kitab al-Anwarul Qudsiyah, bab
“ikatan hati murid kepada Guru Mursyid), menjelaskan :
وَمِنْ
شَاْنِهِ دَوَامُ رِبْطُ قَلْبِهِ مَعَ الشَيْخِ وَالإِنْقِيَادُ لَهُ وَرُؤْيَةُ
اعْتِقَادِهِ أَنَّ اللهَ تَعَالَى جَعَلَ جَمِيْعَ أَمْدَادِهِ لاَيَخْرُجُ
إِلاَّ مِنْ بَابِ شَيْخِهِ. وَأَنَّ شَيْخَهُ هُوَ المَظْهَرُ الذِيْ عَينُهُ
اللهُ تَعَالَى لِلإِفَاضَةِ عَلَيْهِ مِنْهُ. وَلاَ يَحْصُلُ لَهُ مَدَدٌ وفَيْضٌ
إِلاَّ بِوِاسِطَتِهِ.
Diantara etika
murid : melestarikan ikatan batin kepada Guru pembimbing, tunduk kepada
perintahnya, memiliki pemahaman kalau
sesungguhnya Allah Swt tidak akan mengeluarkan pemeliharaan-Nya kepada murid,
kecuali melalui pintu Guru ruhani. Dan Guru ruhani seperti ini, merupakan
tempat penampakan pemeliharaan-Nya kepada murid. Murid tidak mendapatkan nikmat
dan pancaran-Nya, kecuali melalui Guru Pembimbingnya.
@
Kami bertanya : Apakah SALAH menurut sampeyan Gus, keterangan dalam
kitab-kitab sufi diatas ?. Padahal penulisannya sebelum kami menulisnya ?.
g. Dalam penggunaan
sehari-hari, kata jallab dan sallab memiliki dua makna. Pertama,
makna umum yang dimiliki oleh setiap makhluk. Kedua, makna khusus
yang dimiliki para waliyullah, al-Ghauts Ra dan Rasulullah Saw.
1.
Makna umum. Misalnya; air dapat men-sallab
(merampas) rasa haus, serta dapat men-jallab (mendatangkan) kesegaran
tubuh; api dapat men-jallab (membuat) masakan menjadi masak, racun men-sallab
nyawa manusia (mati). Dokter dapat meningkatkan (jallab) kesehatan, serta dapat
mencabut (sallab) penyakit.
Jika seseorang memahami kekuatan makhluk keluar dari diri
sendiri (tanpa Allah Swt), berarti iman mereka masih bercampur dengan paham
MUSYRIK.
2.
Makna khusus. Sallab jallab sebagai karomah yang hanya
dimiliki oleh orang-orang tertentu yang dikehendaki oleh Allah Swt, dan sangat
berkaitan sekali dengan “kekuatan batin dan doa”. seperti dukun/ paranormal,
yang doa mantranya dapat meningkatkan (jallab) rasa sakit atau dapat
menghilangkan/ mencabut (sallab) penyakit orang lain. Kondisi derajat keimanan
seseorang bisa naik/ turun berkat ma’unah atau karomah Kiai, Ulama dan Waliyullah
Ra.
Misal yang lain, bila dalam lingkungan suatu kaum terdapat
seorang ulama atau kiyai, maka iman masarakat akan meningkat, atau bila dalam
lingkungan masarakat terdapat tempat maksiat, atau pelaku maksiat yang pandai mempengaruhi
orang lain, maka iman sebagian masarakat akan melorot.
h. Secara umum, setiap
orang, waliyullah, ulama, kiai, bahkan para pejuang (dalam segala bidang)
diberi karomah jallab dan sallab oleh Allah Swt. Misalnya :
1.
Bangsa
Indonesia mengenal iman dan Islam berkat perjuangan (jallab) dari para ulama
atau wali Songo.
2.
Bangsa
Indonesia ekonominya naik, berkat jallab para perancang ekonomi.
3.
Bangsa
Indonesia, setatusnya naik dari terjajah menjadi merdeka, berkat jasa (jallab)
dari nenek moyang kita.
4.
Jika dilingkungan
suatu daerah terdapat pondok pesantren, sudah tentu iman para santri dan
masarakat, menjadi tertata dan naik ketingkat yang lurus. Hal ini tentu
disebabkan oleh karomah jallab dan doa restu dari Mbah Yai Pengasuh pesantren.
Kesimpulan :
a.
Sallab
– jallab merupakan sunnatullah.
b.
Mereka
mengingkari sallab jallab yang ada pada orang lain, seharusnya terlebih dahulu
mereka mengingkari sallab – jallab yang ada pada dirinya sendiri. Namun, itulah
pemikiran yang dikendalikan oleh nafsu yang tidak dirahmati oleh Allah Swt.
c.
Jika Gus
masih mengingkari keterangan diatas, berarti Gus termasuk kelompok orang
yang egois. Artinya, sebenar dan sejelas apapun harus ditolak, selama bukan
pendapat sendiri atau kelompok sendiri. Dan,
Na’udzu Billah. --------------------
VII. Tanggapan terhadap
kejanggalan ketujuh.
Pada poin
ini Gus Thoifur menyatakan :
Pada hatam 8 PEDOMAN POKOK-POKOK
WAHIDIYAH menggunakan ayat:
وَمَنْ
يَعْتَصِمْ بِاللهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ – ال عمران : 101
"Dan
barang siapa yang berpegang teguh sadar BILLAH maka sungguh ia telah diberi
petunjuk kepada jalan yang lurus" (fersi wahidiyah).
Ayat tersebut di jadikan dalil
"KEBAIKAN DAN KEUNTUNGAN SADAR BILLAH (sadar dalam segala perbuatan dohir
batin senantiasa merasa bahwa yang menggerakkan dan menciptakan adalah alloh
baik dalam ketoatan atau maksiat), padahal dalam kitab-kitab tafsir yang
dimaqsud ayat tersebut adalah "BARANG SIAPA YANG BERPEGANG TEGUH PADA
AGAMA ALLOH MAKA TELAH MENDAPAT HIDAYAH (PETUNJUK) MENUJU KE JALAN YANG BENAR,
bukan masalah keuntungan dan kebaikan sadar BILLAH.
1.
Penjelasan terhadap pernyataan : padahal
dalam kitab-kitab tatsir yang dimaqsud ayat tersebut adalah BARANG SIAPA YANG
BERPEGANG TEGUH PADA AGAMA ALLOH MAKA TELAH MENDAPAT HIDAYAH (PETUNJUK) MENUJU
KE JALAN YANG BENAR, bukan masalah keuntungan dan kebaikan sadar BILLAH.
Pernyataan Gus
ini menunjukkan :
a. Gus
ternyata hanya mau memakai tafsir dari satu penafsiran saja. Seperti tafsiran
dari mufassir Ali as-Shabuni (dosen fakultas Syariah pada Universitas Abdul
Aziz Makkah al-Mukarramah) saja. Mufassir Ali as-Shabuni dalam tafsirnya (Shafwah
at-Tafasir) menjelaskan :
(وَمَنْ
يَعْتَصِمْ بِاللهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ
مُسْتَقِيْمٍ)
يتمسك بدينه الحق الذي بيَّنه بأياته على لسان رسوله فقد اهتدى إلى أقوم طريق.
Berpegang teguh
pada AGAMA ALLAH YANG BENAR, yang Dia telah menjelaskan dengan ayat-ayat-Nya
melalui lisan rasul-Nya, maka pasti ia mendapat hidayah kepada jalanyang lurus.
b.
Gus sebagai tokoh Nahdliyyin,
terlalu berani dan sesuka sendiri menyempitkan makna بِالله dari kedalaman kandungannya. Padahal para ulama ahli tafsir,
telah menjelaskan kedalaman kandungannya yang dikehendaki Allah Dzat Pemilik
firman. Misalnya :
1.
Syeh Abul Barakat an-Nasafi Ra (tafsir Madaarik
at-Tanziil), memberikan makna ayat tersebut dengan makna yang luas :
(وَمَنْ
يَعْتَصِمْ بِاللهِ) ومن يتمسك بدينه أو بكتابه أو حث لهم على الإلتجاء في دفع
شرور الكفار ومكايدهم (فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ) أرشد إلى دين الحقِّ
أو ومن يجعل ربه ملجاء ومفزعا عند التشبه يحفظه عن التشبه
(وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللهِ) Dan barang siapa berpegang teguh
dengan agama Allah atau kitab-Nya, atau sebagai dorongan kepada mukmin agar
berlindung (kepada-Nya) dalam menolak kejahatan dan
tipu daya orang kafir. (فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ
مُسْتَقِيْمٍ)
diberi
petunjuk kepada agama yang benar, atau barang siapa yang menjadikan Tuhannya
sebagai tempat berlindung dan berteduh ketika mengalami tasyabuh, maka (Allah)
akan menjaganya dari ketasyabuhan.
2.
Syeh Khathib as-Syarbini Ra (tafsir Sirajul
Munir), menerangkan :
(وَمَنْ
يَعْتَصِمْ بِاللهِ) وَمَنْ يَتَمَسَّكُ بِدِيْنِهِ أَوْ يَلْتَجِئُ إِلَيْهِ فِي
مَجَامِعِ أُمُورِهِ (فَقَدْ هُدِيَ) حَصَلَ لَهُ الهُدَى (إِلَى صِرَاطٍ
مُسْتَقِيْمٍ)
3.
Syeh Kamsykhanawi Ra (kitab Jami’
al-Ushul bab “uzlah”), menerangkan :
ولا
تَغْتَر باِعْتِزَالِ بَدَنِكَ وَالقَلْبُ مَعَهُمْ فَاهْرُبْ إِلَى اللهِ فَإِنَّ
مَنْ هَرَبَ إِلَى اللهِ أَوَّاهُ اللهِ وَحَفَظَهُ, وَصِفَةُ الهُرُوبِ إِلَى
اللهِ بِالكَرَاهَةِ لِجَانِبِهِمْ وَالمَحَبَّةُ لِجَانِبِ الحَقِّ بِاللجَاءِ
إِلَيْهِ وَالإِعْتِصَامِ بِهِ (وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللهِ فَقَدْ
هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ)
Janganlah
tertipu dengan penyendirian (uzlah) badanmu (dari manusia) sedangkan hati
bersama mereka. Maka cepat-cepat larikanlah (hatimu) kepada Allah. Sesungguhnya
orang berlari kepada Allah, adalah orang yang berlindung dengan perasaan
merendah kepada Allah, dan DIA akan menjaganya. Sifat atau keadaan berlari
kepada Allah itu, ketika berada dilingkungan manusia (makhluk), dengan cara
dipaksakan. Sedangkan mahabbah/ cinta pada keharibaan Dzat yang Haq, dengan
cara berlindung kepada-Nya serta memohon penjagaan kepada/ dengan-Nya (bihi
: BILLAH) (وَمَنْ
يَعْتَصِمْ بِاللهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ)
@
Kami bertanya : Gus ....., apa alasan sampeyan menolak mufassir ulama
asy’ariyah (non Ali as-Shabuni) diatas, hingga sampeyan menyempitkan
makna firman Allah ?.
c. Ayat
diatas kami tulis dalam buku kami bab tersebut, karena ada SYAHID dari
dalil lain.
d. Banyak
hadis yang menjadi penjelas tentang makna BILLAH pada ayat diatas dapat
dimaknai dengan SADAR BILLAH..
1. “Makrifat/ sadar billah, yang maknanya diambil
kata BILLAH merupakan prinsip utama kaum sufi. Dan karenanya, mereka, disebut
“AL-‘ARIF BILLAH”.
2. Imam
Bukhari (Shahih pada “kitab iman”), Rasulullah Saw, menerangkan adanya
ilmu/ makrifat billah. Lihat dalam bab : قَوْلُ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِاللهِ yang
memaknainya dengan : وَأَنَّ المَعْرِفَةَ فِعْلُ القَلْبِ : dan sesungguhnya makrifat itu perbuatan
hati.
3. HR.
Dailami dari Baginda Aisyah Ra, [11] yang
menerangkan; penyangga agama adalah MAKRIFAT BILLAH.
قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ دِعَامَةَ البَيْتِ
أَسَاسُهُ, وَدِعَامَةَ الدِيْنِ المَعْرِفَةُ بِاللهِ تَعَالَى
وَاليَقِيْنُ والعَقْلُ القَامِعُ. فَقُلْتُ : بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي, مَا العَقْلُ
القَامِعُ ؟. قَالَ : الكَفُّ عَنْ مَعَاصِي اللهِ وَالحِرْصُ عَلَى طَاعَةِ اللهِ
عَزَّ وَجَلَّ.
Nabi
Saw bersabda : Sesungguhnya penyangga rumah adalah pondasinya. Sedangkan
penyangga agama adalah MAKRIFAT BILLAH, keyakinan dan akal yang mengendalikan.
Aku (Aisyah) berkata : demi bapakku Engkau dan ibuku : Apakah makna akal yang
mengendalikan itu ?. Beliau bersabda : (akal) yang dapat mencegah dari
kemaksiatan dan yang mendorong ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.
@ Kami bertanya : Apakah menurut Gus,
berpegang teguh dengan ILMU BILLAH bukan suatu keharusan ?. Kalau jawaban
Gus : Tidak. Atas dasar apa dan darimana ?.
4.
HR. Imam
Bukhari, Rasulullah Saw bersabda :
قَال
الله تَعالَى : فَاِذَا اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الذِي يَسْمَعُ بِهِ
وَبَصَرَهُ الذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الذِي يُبْطِشُ بِهِ وَرِجْلَهُ
الذِي يَمْشِي بِهَا
5.
Ibnu Mas’ud Ra menjelaskan (Kitab Qutul
Qulub, Abu Thalib al-Makky) :
والحَقِيْقَةُ
الذكْرِ العِلْمُ بِاللهِ. وَلَيْسَ شَيْئٌ فِي الذِكْرِ بِدْعَةٌُ
Hakikat dzikir, adalah ilmu Billah. Dan tidak ada bid’ah
didalam dzikir.
Kesimpulan
:
a.
Kami memaknai ayat tersebut dengan makna
seperti dalam buku kami, berdasar dengan aturan dalam kaidah yang semestinya
yang dianut oleh para kaum sufi (al-Arif Billah).
b.
Kami menempatkan ayat itu pada bab
tersebut, karena terdapatnya dalil SYAWAHID dari beberapa dalil yang kuat.
c.
Jika Gus, mengikuti satu
penafsiran (Shafwah at-Tafasir) saja, itu hak sampeyan. Namun jangan
mengklaim dengan pernyataan : padahal dalam kitab-kitab tafsir yang
dimaqsud ayat tersebut adalah ...... dst. Dan
..., ini namanya AROGANSI ILMIYAH.
--------------
VIII. Tanggapan terhadap
kejanggalan delapan.
Pada poin
ini kami nukilkan pernyataan Gus Thoifur
:
Pada halaman 9 PEDOMAN
POKOK-POKOK WAHIDIYAH menggunakan ayat:
وَمَا يُؤْمِنُ
أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُونَ – يوسف : 106
"Dan sebagian besar dari mereka tidak sadar BILLAH melainkan mereka masih
mempersekutukan ALLOH" (fersi wahidiyah).
Ayat tersebut di jadikan dalil
KERUGIAN DAN KECAMAN TERHADAP YANG TIDAK SADAR BILLAH, dan disitu wahidiyah menjelaskan bahwa orang yang tidak sadar BILLAH
masih tergolong orang yang syirik khofi.
Kami menjelaskan :
Alasan kami menjadikan ayat tersebut sebagai dalil KERUGIAN DAN KECAMAN
TERHADAP YANG TIDAK SADAR BILLAH, antara lain :
a. Ketika kata BILLAH dirangkai dengan
SYIRIK, bermakna : menyekutukan Allah dengan makhluk. Yakni, tanpa DIA, segalanya menjadi tiada. Dengan
demikian, orang yang musrik hatinya, adalah orang yang tidak menyadari bahwa
segalanya sebab DIA. Atau dengan kata lain; segalanya sebab makhluk itu
sendiri. Dan dalam tafsir an-Nasafi, dan fatwa al_Ghazali Ra, hal ini merupakan
paham qadariyah yang SYIRIK.
b. Tidak sadar atas kehendak-Nya
(BILLAH), termasuk bagian dari perbuatan SYIRIK. Sebagaimana yang tercermin
dalam Qs. an-Nahl : 53 - 54 :
وَمَا بِكُمْ مِن نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ ثُمَّ إِذَا
مَسَّكُمْ الضُرُّ فَإِلَيْهِ تَجْئَرُوْنَ. ثُمَّ إذَا كَشَفَ الضُرُّ عَنْكُمْ
إِذَا فَرِيْقٌ مِنْكُمْ بِرَبِّهِمْ مُشْرِكُونَ
Nikmat apa saja yang kamu peroleh, datangnya dari Allah.
Dan apabila kamu mengalami kesulitan kepada-Nya kamu minta pertolongan.
Kemudian apabila Tuhan menghilangkan kesulitan itu padamu, maka sebagian dari
kamu, dengan Tuhannya mempersekutukan.
c. Syeh Abul Barakat Abdullah Mahmud
an-Nasafi, (tafsir Madaarik at-Tanzil), menjelaskan makna iman
BILLAH berkorelasi dengan kemusyrikan :
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ إِلاَّ وَهُمْ
مُشْرِكُوْنَ – يوسف : 106)
وَقَالَ الجُمْهُوْرُ : أَنَّهَا نَزَلَتْ فِي
المُشْرِكِيْنَ. لأَنَّهُمْ يُقَرِّرُوْنَ بِاللهِ خَالِقَهُمْ وَرَازِقَهُمْ.
وَإِذَا حَزِبَهُمْ أَمْرٌ شَدِيْدٌ يَدْعُوْنَ اللهَ وَمَعَ ذَالِكَ يُشْرِكُوْنَ بِهِ غَيْرَهُ. وَمِنْ جُمْلَةِ الشِرْكِ
مَايَقُوْلُهُ القَدَرِيَّةُ مِنْ إِثْبَاتِ قُدْرَةِ التَخْلِيْقِ لِلعَبْدِ.
وَالتَوْخِيْدُ المَحْضُ مَايَقُوْلُهُ أَهْلُ السُنَّةِ, وَهُوَ أَنَّهُ
لاَخَالِقَ إِلاَّ اللهُ.
Dan jumhur ulama mengatakan bahwa ayat tersebut turun
kepada kaum musyrikin. Karena sesungguhnya mereka mengikrarkan iman kepada
Allah (billah) yang menciptakan mereka dan yang memberi rizki mereka. Dan
ketika mereka ditimpa perkara yang berat, mereka berdoa kepada Allah. Dan
bersamaan itu pula mereka menyekutukan-Nya dengan lain-Nya. Dan dari bagian syirik
adalah pemahaman yang diucapkan oleh kaum QADARIYAH, yang menetapkan kekuasaan
penciptaan perbuatan hamba pada hamba itu sendiri.
Sedangkan tauhid yang murni adalah pemahaman yang
diucapkan oleh kaum ahlussunnah, yakni “tidak ada pencipta kecuali Allah”.
d. Imam Ghazali (kitab Raudlatut Thalibin,
pada muqaddimah), menjelaskan :
إِعْلَمْ أَنَّ الوَقُوْفَ مَعَ الخَلْقِ حِجَابٌ عَنِ
الحَقِّ وَرُؤْيَةُ الأَفْعَالِ شِركٌ, لأَنَّ أَفَعَالَ العِبَادِ مُضَافَةٌ
إِلَى اللهِ تَعَالَى خَلْقَا وَإِيْجَادًا وَإِلَى العَبْدِ كَسْبًا لِيُثَابَ
عَلَى الطَاعَةِ وَيُعَاقِبَ عَلَى المَعْصِيَةِ.
@ Kami bertanya, janggalkah bila
kami menjadikan Qs. Yusuf : 106, sebagai dalil motivasi terhadap KERUGIAN DAN KECAMAN TERHADAP YANG TIDAK SADAR BILLAH ?. Kalau oleh Gus tetap dianggap
janggal, ATAS DASAR APA ?.
Dengan ketarangan diatas, oleh Gus
masih dianggap JANGGAL, kami bertanya, apakah aqidah Gus tidak sebagaimana
aqidah kaum asy’ariyah ?.
@
Gus, dengan keterangan yang berdasar kaidah muktabarah ini, masihkah
sampeyan menganggap kemusyrikan yang kami uraikan dalam buku kami, hanya
berdasar VERSI WAHIDIYAH (Perjuangan
Wahidiyah) ?.
a. Nabi Saw bersabda : إِتَّقُوا الشِرْكَ فَإِنَّهُ أَخْفَى مِنْ
دَبِيْبِ النَمْلِ
: Takutlah kalian akan syirik. Sungguh syirik itu lebih samar
daripada semut hitam diwaktu malam. (HR. Imam Ahmad),[12] الشَهْوَةُ
الخَفِيَةُ وَالرِيَاءُ شِرْكٌ Keinginan
yang samar dan riya’ itu syirik (HR. Imam Nasai), [13] HR. Imam Ibnu Majah : [14]
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الإِشْرَاكُ بِاللهِ أَمَّا
إِنِّي لَسْتُ أَقُولُ يَعْبُدُونَ شَمْسًا وَلاَ قَمَرًا وَلاَ وَثَنًا ولَكِنَّ
اعْمَالاً لِغَيْرِ اللهِ وَشَهْوَةً خَفِيَةً.
Sesungguhnya yang paling aku takutkan dari sesuatu yang aku
takutkan kepada ummatku, adalah syirik billah. Aku tidak mengatakan mereka
menyembah matahari, rembulan dan berhala. Akan tetapi amal yang tidak karena
Allah serta keinginan yang tersembunyi.
Kesimpulan :
a.
Kami merasa
heran kepada Gus. Karena Gus mengaitkan pendapat dengan merujuk
kepada kitab sufi seperti Iqadzul Himam dan Sirajut Thalibin
serta beberapa kitab tafsir al-Qur’an. Namun, kok mempermasalah syirik
khofi. Aneh tapi nyata.
b.
Dalam kaidah
kaum sufi, paham Qadariyah yang musyrik tersebut, adalah orang yang
menolak dan mengingkari prinsip iman BILLAH. ----------------
والحمد لله رب العالمين
[1]. buku Kilas Balik Teori Fiqih Islam, oleh
Forum Karya Ilmiyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadiin PP Lirboyo Kediri, dan
yang diberi pengantar oleh KH. MA. SAHAL MAHFUDH (mantan rais ‘am PBNU)
[2]. Hadis hasan shahih yang
diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. Lihat kitab Riyaadl ad-Shalihin-Nya Imam
Nawawi, dalam pasal “keutamaan menangis” nomer hadis : 03.
[3]. HR. al-Hakim, Jami’
as-Shaghir II/ “mim”.
[5]. Kitab ‘Awarif
al-Ma’arif-nya Imam Suhrawardi dalam bab 24.
[6]. Kitab
al-Futuuhaat al-Ilaahiyah-nya Syeh Sulaiman bin Umar al-Ajili pada ulasan Qs.
al-Baqarah : 37.
[7]. Kitab al-Ghunyah
Syeh Abdul Qadir al-Jailani bab “itti’adz bimawa’idzil Qur’an” pasal ke 22.
[8]. Lihat kitab
Thabaqat al-Kubra-nya Syeh Sya’rani Ra dalam juz I muqaddimah.
[9]. Keterangan
tentang Ibnus Saqa, juga ditulis dalam kitab al-Anwarul Qudsiyah-nya
Imam Sya’rani Ra.
[10]. Lihat
pada hamisynya kitab al-Asybah wa an-Nadzair-nya Imam Jalaluddin
as-Suyuthi, terbitan
“al-Hidayah” Surabaya.
[11]. HR.
Dailami. Kitab Risyalah al-Qusyairiyah Imam Qusyairi Ra bab ke 45
(al-ma’rifah billah).
[12]. HR. Imam
Ahmad dalam Musnad. Jami’
as-Shaghir-nya Imam Suyuthi, juz I bab alif.
[13]. HR.
Imam Nasai dari Syaddad Ibn Aus ra. Jami’ as-Shagir, juz II dalam bab
“Syin”.
[14]. HR.
Ibnu Majah dari Syaddad Ibn Aus (Kitab Jami’ as-Shaghir, juz I dalam bab
“alif.
0 komentar:
Posting Komentar