AJARAN WAHIDIYAH
AJARAN WAHIDIYAH
Pengertian Ajaran Wahidiyah
A.
Pengertian Wahidiyah.
1.
Syirik Dan Tauhid
Membebaskan
jiwa manusia dari kemusyrikan merupakan visi dan missi perjuangan para
nabi dan rasul yang paling utama.
Dan perjuangan ini kemudian diteruskan oleh para waliyullah dan kuhususnya para
al-Ghauts Ra pada setiap zaman. Memahami
kedudukan Allah Swt Pencipta alam semesta dan posisi makhluk, merupakan garis
demarkasi (al-had al-fashil) antara tauhid dan syirik. Ketentuan sesat atau tidak terhadap iman seseorang,
ditentukan dalam pemahaman ini.
Syirik
adalah paham yang mengatakan bahwa Allah Swt memiliki pembantu atau sekutu
dalam menciptakan dan mengatur alam semesta. Dengan demikian paham
yang mengatakan, makhluk dengan dirinya sendiri dapat mendatangkan kemaslahatan
atau menolak kemadlorotan baik untuk dirinya atau untuk lainnya, merupakan
paham syirik. Misalkan saja, kita merasa dapat menolong kepada diri sendiri atau dapat menolong
keluarga dan orang lain dengan tanpa izin Allah Swt. Atau air
dengan dirinya sendiri (tanpa izin Allah Swt) dapat menghilangkan haus, menyegarkan tubuh, merebus
masakan, menghidupkan tanaman. Racun dengan dirinya sendiri, tanpa Allah dapat mendatangkan
kematian kepada manusia. Demikian pula dalam kasus kehidupan makhluk yang tanpa
izin-Nya tidak dapat memberikan manfaat kepada dirinya atau lainnya.
Dan,
al-Qur’an menerangkan, secara umum keimanan seseorang terhadap Allah Swt dan
kekuasaan-Nya, masih bercampur dengan pemahaman syirik (menyekutukan-Nya dengan
makhluk). Sebagaimana keterangan dalam firman
Allah Swt , Qs. Yusuf : 106 :
وَمَايُؤْمِن أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ
اِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُوْنَ
Dan
tidak beriman kepada Allah kebanyakan manusia, kecuali mereka
mempersekutukan-Nya.
Dan pula, kebanyakan manusia menganggap
rendah dan remeh terhadap nilai
dosa syirik, hingga tidak ada keinginan atau usaha
untuk membersihkannya. Padahal Allah Swt sangat benci dan murka jika Dia Azza wa Jalla
disekutukan dengan makhluk. Dikatakan syirik (menyekutukan Allah Swt dengan makhluk), jika
seseorang mengambil makhluk (termasuk diri sendiri) sebagai penolong, dengan
anggapan datangnya pertolongan dari makhluk, bukan dari Allah Swt. Firman Allah
Swt, Qs. az-Zumar : 43 - 44 :
أَمِ اتَخَذُوامِنْ دُونِ اللهِ شُفعَاءَ قُلْ أَوَلَوْ كَانُوا لاَ
يَمْلِكُوْنَ شَيْئًا وَلاَ يعْقِلُونَ قُلْ للهِ الشَفَاعَةُ جَمِيعًا لَهُ
مُلْكُ السَمَوَاتِ وَالاَرْضِ ثُمَّ اِلَيهِ تُرْجَعُونَ
Apakah mereka mengambil
penolong-penolong selain Allah ?. Katakanlah : Dan apakah (kamu
mengambil syafaatnya juga), padahal mereka tidak memiliki sesuatu apapun dan
tidak memiliki akal?. Katakanlah : hanya kepunyaan Allah semua syafa’at (pertolongan). Dan hanya kepunyaan-Nya
kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nyalah kamu semua dikembalikan.
Allah Swt sangat murka dan merasa jijik
(najis) melihat mukmin yang hatinya berbuat syirik. Dan bila seseorang hatinya
telah mati, ia tidak memiliki rasa takut kepada-Nya meskipun sering berbuat
kemusyirikan, na’udzu billah. Rasulullah Saw
bersabda : [1] أَبْغَضُ
إِلَهٍ عُبِدَ فِي الأَرضِ هُوَ الهَوَى : Sesembahan
dibumi yang paling dibenci oleh Allah adalah hawa nafsu.
Dan dalam ayat 28 surat at-Taubah, Allah Swt juga mengabarkan kebencian dan
kejijkan-Nya terhadap kaum musyrikin : يَأَيُّها
الذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا المُشْرِكُونَ نَجَسٌ : Wahai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang musyrik itu najis.
Membersihkan
hati dari pemahaman syirik, merupakan fardlu ain. Karena, amal ibadah akan
menjadi sia-sia bila didasari iman syirik. Serta merupakan dosa terbesar yang
tidak akan mendapatkan ampunan-Nya. Firman Allah Swt, Qs. al-An’aam : 88 :
وَلَوْ
أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ : Dan
jika mereka pada musyrik, maka niscaya menjadi sia-sia dari mereka apa yang
telah mereka amalka. Dan, Qs. An-Nisa’ :
48 :
إِنَّ اللهَ
لاَيَغْفِرُ أَنْ يشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَالِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
menyekutukan makhluk dengan-Nya (syirik) dan mengampuni dosa lainnya bagi yang dikehendaki-Nya.
Seseorang
dapat bertemu (liqa’/ makrifat) kepada Tuhannya,
sekiranya ia tidak menyekutukan-Nya dengan makhluk serta beramal shalih. Firman Allah Swt,
Qs, al-Kahfi : 110 :
وَمَنْ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ
عَمَلاً صالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.
Dan
siapa saja yang menginginkan bertemu Tuhannya, maka berkerjakanlah amal shalih
serta tidak menyekutukannya dengan makhluk sedikitpun.
Sebagai mukmin
yang ingin menyempurnakan iman, haruslah benar-benar memahami dan memperhatikan
hati dari sifat-sifat syirik. Menyekutukan Allah Swt dengan mahluk (musyrik),
tidak sekedar sebagai kotoran hati, namun ia merupakan najis (kotoran yang
menjijikkan) hati, dan merupakan dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah Swt
serta sia-sia amal ibadah yang dilaksanakan. Hadlaratul Mukarram Romo KH. Abdul
Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo,
menfatwakan bahwa syirik merupakan pangkal segala penyakit hati.
Pada umumnya, manusia kurang peka dan perhatian terhadap penyakit
hati (terutama syirik). Mereka menganggap syirik, ujub, riya’ dan penyakit hati
lainnya merupakan hal yang lumrah dan biasa. Hal ini disebabkan oleh fikiran
dan hati yang sudah terbakar oleh nafsu, hati yang buta, dan hati yang hampir mati.
Lain itu pula, hati yang telah mati akan menyebabkan lahirnya pemahaman
terbalik. Artinya, syirik dianggap sebagai tauhid, dan tauhid dianggap sebagai
syirik. Dan memang hanya orang-orang yang hatinya hidup dan mendapat
hidayah-Nya saja, yang dapat memahami dan membedakan antara tauhid dan syirik.
Sadar BILLAH dalam setiap saat, waktu dan kondisi itulah tauhid,
me-Maha Esa-kan dan me-Maha Besar-kan Allah Swt. Dan tidak sadar BILLAH
(LINAFSIH dalam istilah Wahidiyah), tergantung dan berhenti pada makhluk itulah
kemusyrikan. Membebaskan jiwa manusia dari belenggu kemusyrikan merupakan inti
dan pokok dalam perjuangan Wahidiyah, perjuangan FAFIRRU ILALLAH WA RASULIHI
SAW.
2.
Arti Wahidiyah.
Wahidiyah bukanlah sebuah golongan atau aliran baru dalam Islam,[2]
sebagaimana anggapan atau asumsi dari orang-orang yang belum memahaminya. Ia merupakan
kondisi iman seserorang yang telah terbebas dari kemusyrikan. WAHIDIYAH
merupakan kesadaran mukmin dalam berke-Tuhan-an Yang Maha Esa.
WAHIDIYAH merupakan kata dalam bahasa arab yang diambil dari kata
WAAHID yang memiliki arti “satu/ esa/ tunggal”. Kemudian kata ini dalam asmaul husna (asma Allah Swt yang sangat
baik) dikhususkan hanya kepada-Nya, yang berarti Dzat Yang Maha Esa. Kata
وَاحِد ini jika
ditambah dengan “ya’ nisbah/ يَة ” pada akhir
kalimah, menjadi وَاحِدِيَة / WAHIDIYAH yang memiliki arti : pemahaman yang berkaitan atau
berhubungan dengan ke-Esa-an Allah Swt. Dengan pengertian semacam ini, para
ulama sufi sering
mengartikannya dengan MENG-ESA-KAN atau me-MAHA ESA-kan Allah Swt.
Jadi,
WAHIDIYAH dapat dipahami sebagai lawan kata dari Syirik.
Bertauhid bukan sekedar pengetahuan tentang ke-ESA-an Allah Swt, bukan sekedar dapat mengapal asma dan
sifat-sifat-nya. Akan tetapi, ia lebih murapakan perbuatan hati/ tindakan
jiwa/ prilaku batin yang telah dapat memahami keberadaan dan kekuasaan-Nya
dalam semesta alam. Dapat memandang kebesaran Allah Swt, dalam segala makhluk.
Dengan demikian, dalam membebaskan hati
dari musyrik, tidak dapat dengan cara meniadakan makhluk dalam alam fikiran.
Karena hal ini tidak mungkin dapat dilakukan. Maka,
seseorang dikatakan : tidak menyekutukan Allah Swt dengan mahluk (bertauhid/ berwahidiyah),
ketika berhubungan dengan makhluk (termasuk Rasulullah Saw dan al-Ghauts Ra), selama
memahami bahwa keberadaan makhluk dengan segala yang melekatinya semata-semata
sebagai pancaran dari Allah Swt.
Meng-ESA-kan
Allah Swt, tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan cara meniadakan makhluk dari
alam fikiran atau dari hati. Dalam meng-ESA-kan-Nya secara sempurna tidak bisa tanpa melalui makhluk dengan memahami kebesaran Allah Swt.
Sebab selama kita wujud baik dalam alam fana atau alam baqa, tidak mungkin bisa
terbebas dari wujudnya makhluk. Diri kita, gerak-gerik lahir batin kita,
lingkungan kita, alam fikiran, batin kita, dan bahkan perbuatan kita
meng-ESA-kan-Nya juga termasuk makhluk. Dengan demikian, agar dapat
meng-ESA-kan Allah Swt (tidak usyrik), sarananya adalah :
1.
Melalui makhluk (termasuk diri sendiri).
2.
Mengetrapkan ajaran atau prinsip LILLAH dan BILLAH secara
dzauqiyah.
3.
Memahami dan menyadari bahwa makhluk tidak dapat memberi manfaat
atau madlaraat kepada diri sendiri atau kepada lainnya, kecuali atas izin dan
kuasa Allah Swt semata. Makhluk hanya sebagai pancaran dan sarana Allah Swt
dalam mengatur makhluk lainnya. Demikian pula Rasulullah Saw dan Ghauts Hadzaz Zaman Ra, juga hanya sebagai pintu atau sarana-Nya.[3]
Makna wahidiyah dalam pandangan para waliyullah
dan al-Ghauts Ra :
1.
Al-Ghauts fi Zamanihi Syekh Abdul Wahhab Sya’rani Ra dalam menerangkan : [4]
الوَاحِدُ يَتَعَدَّدُ بِالمَظَاهِرِ
وَالآحَدُ لاَيَتَعَدَّدُ لأَنَّهُ خُلاَصَة الوَاحِدُ فَإِذَا تَعَدَّدَ الوَاحِدُ
تَنْزِيْلٌ لِكَمَالِ الدَائرَةِ وَإِذَا تَكَمَّلَتْ صَارَتْ حَقِيْقَةَ
وَاحِدِيَةً أَحَدِيَةً لِجَمِيْعِ الدَوَائِرِ فَهَذِهِ خَلاَصَةُ الحَقَائِقِ.
فَمَنْ صَدَقَ اللهَ وَوَحَّدَهُ اللهُ فَصَارَ وَاحِدًاعَارِفا
بِاللهِ
وَللهِ.
Al-Wahid,
dalam penampakannya pada makhluk menunjukkan jumlah bilangan. Sedangkan al-Ahad
tidak menunjukkan jumlah bilangan, karena ia merupakan
ringkasan dari al-Wahid. Ketika al-Wahid tampak dalam jumlah
bilangan, bertujuan untuk kesempurnaan seluruh wujud. Dan ketika
keberadaan wujud telah sempurna, maka wujud alam ini sebagai
hakikat Wahidiyah dan Ahadiyah, yang
mana ia merupakan
ringkasan seluruh hakikat wujud. Barang siapa yang dibenarkan (agamanya) oleh
Allah, maka Allah memberinya (ilmu) tauhid, serta Allah
menjadikannya sebagai satu-satunya hamba yang sadar Billah dan Lillah.
2.
Dan al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Gazali Ra, ketika memberi
penjelasan makna surat ikhlas, mengatakan
: [5]
فَالوَاحِدُ نَفْيُ الشَرِيْكِ
فَالأحَدُ نَفْيُ الكَثْرَةِ فِي ذَاتِهِ الصَمَدُ المُحْتَاجُ إِلَيْهِ غَيْرُهُ.
والصَمَدِيَهُ دَلِيْلٌ عَلَى الوَاحِدِيَةِ وَالآحَدِيَةِ.
Makna al-Wahid,
adalah ketiadaan sekutu (bagi-Nya), sedangkan makna al-Ahad, adalah
ketiadaan jumlah (susunan) didalam Dzat-Nya,(yang menjadi) tempat bergantungnya
makhluk, dan yang selain diri-Nya berhajat kepada-Nya. Shamadiyah
(ketergantungan hamba kepada Allah meskipun berinteraksi makhluk), merupakan
bukti kepada tauhid Wahidiyah dan Ahadiyah.
3.
Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Dliyauddin Kamasykhanawi Ra mengatakan:
[6]
عَبْدُ
الوَاحِدُ : هُوَ الذِي بَلَغَهُ اللهُ الحَضْرَةَ الوَاحِدِيَةَ وَكَشَفَ لَهُ
عَنْ أَحَدِيَةِ جَمِيْعِ أَسمَائِهِ, فَيَدْرِكُ مَا يُدْرَكُ وَيَفْعَلُ مَا
يُفْعَلُ بِأَسْمَائِهِ وَيُشَاهِدُ وُجُودَهُ بِأَسْمَائِهِ الحُسْنَى. وَهُوَ
وَحِيْدُ الوَقتِ صَاحِبُ الزَمَانِ الَذِي لَهُ القُطْبِيَةُ الكُبْرَى
بِالأَحَدِيَةِ
Abdul
Wahid : adalah orang yang Allah telah menghendakinya sampai ke derajat hadlrah
Wahidiyah. Dan Allah telah membukakan tabir baginya dari sinar Ahadiyah seluruh
asma-Nya. Hamba ini dapat menemukan sesuatu (atas izin Allah semata) yang Dia
temukan, dan melakukan sesuatu yang Dia lakukan. Dan dapat musyahadah tentang
wujud-Nya dengan asma-Nya yang baik. Dialah satu-satunya hamba Allah (yang
sempurna) pada waktu itu. Dialah orang yang memahami (baik buruknya) zaman. Dan
yang baginya (derajat) wali quthub yang besar dengan pemahaman iman Ahadiyah.
4.
Al-Ghauts fi Zamanihi Syekh Abdul Karim al-Jilliy Ra (w. 826 H)
menjelaskan tentang makna iman Wahidiyah
: [7]
والنَاظِرُ فِي مِرأَة هَذَا
الاِسْمِ ذَوْقًا يَكُونُ عِنْدَهُ مِنْ عُلُومِ التَوْحِيْدِ عِلْمُ
الوَاحِدِيَّةِ
Dan orang
yang hatinya dapat memandang (kepada Allah Swt) dalam cermin
makhluk ini dengan dzauqiyah (rasa
hati), maka orang tersebut memiliki beberapa ilmu tauhid, yaitu ilmu Wahidiyah.
5.
Al-Ghauts fi Zamanihi Syeh Kamskhanawi Ra dalam kitab Jami’
al-Ushul, bagian mutammimat
pada bab “shad dan dha”, menjelaskan :
صُوَرُ الحَقِّ هُوَ مُحَمَّدٌ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِتَحَقُّقِهِ بِالحَقِيْقَةِ الأَحَدِيَةِ
وَالوَاحِدِيَةِ
Yang dinamakan Citra al-Haq: adalah Nabi Muhammad Saw, yang telah
membuktikan dengan semestinya tentang hakikat maqam Ahadiyah dan Wahidiyah.
ظِلُّ الإلَهِ هُوَ الإِنْسَانُ
الكَامِلُ المُتَحَقِّقُ بِالْحَضْرَةِ َالْوَاحِدِيَة
Payung
Tuhan (untuk makhluk/ dalam bumi) adalah manusia sempurna yang telah dapat menyatakan maqam hadhrah
Wahidiyah.
Dikatakan
syirik (menyekutukan Allah Swt dengan makhluk), jika seseorang mengambil
makhluk sebagai penolong, dengan anggapan pertolongan tersebut datangnya dari
makhluk tersebut, dan bukan dari Allah Swt. Sebagaimana keterangan dalam firman
Allah Swt, Qs. az-Zumar : 43 - 44 :
أَمِ اتَخَذُوامِنْ دُونِ اللهِ شُفعَاءَ قُلْ أَوَلَوْ كَانُوا لاَ يَمْلِكُوْنَ
شَيْئًا وَلاَ يعْقِلُونَ قُلْ للهِ الشَفَاعَةُ جَمِيعًا لَهُ مُلْكُ السَمَوَاتِ
وَالاَرْضِ ثُمَّ اِلَيهِ تُرْجَعُونَ
Apakah mereka
mengambil penolong-penolong
selain Allah ?. Katakanlah : Dan apakah (kamu mengambil syafaatnya juga),
padahal mereka tidak memiliki sesuatu apapun dan tidak memiliki akal?.
Katakanlah : hanya kepunyaan
Allah semua syafa’at [8] (pertolongan). Dan hanya kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian
kepada-Nyalah kamu semua dikembalikan.
B.
Pengetrapan Ajaran Wahidiyah
1.
Pengamalan Wahidiyah
Ajaran
Wahidiyah merupakan bimbingan praktis yang disusun oleh Hadratul
Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, untuk
memudahkan pelaksanaan prinsip-prinsip iman, Islam dan ihsan.[9]
Perlukah saat
sekarang adanya bimbingan (system baru) lagi dalam meningkatkan keimanan kepada
Allah Swt wa Rasulihi Saw, padahal telah ada beberapa bimbingan sebelumnya ?.
Jawabnya : SANGAT
PERLU.
Dikatakan sangat perlu, karena telah terlupakannya iman WAHIDIYAH
dari ingatan dan pemikiran para tokoh agama dan golongan, kususnya tokoh dan
golongan Islam). Dan, banyak juga kalangan yang salah anggapan atau salah
asumsi tentang WAHIDIYAH dan Ahadiyah. Diantara mereka ada yang berasumsi bahwa
ajaran Wahidiyah merupakan ajaran yang sesat (keluar dari Islam). Diantara
mereka ada yang menganggap bahwa WAHIDIYAH merupakan ajaran Islam kelas tinggi
yang hanya dikhususkan untuk para ulama dan waliyullah saja.
Dengan kondisi semacam ummat dan masarakat yang semacam inilah yang
menyebabkan Hadratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif
Shalawat Wahidiyah bangkit untuk memperjuangkan iman WAHIDIYAH dengan cara yang
mudah dan simpel untuk dipahami dan diamalkan.
Dengan
demikian, AJARAN WAHIDIYAH jangan dipahami sebagai tandingan terhadap
macam-macam bimbingan (system/ cara/ metode/ tarekat/ sunnah) yang sudah ada,
apalagi tandingan terhadap sunnah rasul. Bimbingan praktis tersebut dimaksudkan
agar sunnah rasul baik yang berhubungan dengan aqidah, akhlak maupun ubudiyah
lahiriyah dan muamalat dapat terlaksana secara baik dan secara semestinya.
Rasulullah Saw dalam hadis menganjurkannya. Rasulullah Saw bersabda
: [10]
مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ
مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ
شَيْئٌ مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ
سُنَّةَ سَيِّئَةً كَانَ َلَه وِزْرُهَا وَوِزَرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ
مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُوزَارِهِمْ شَيْئٌ
Siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang
baik, maka baginya pahala dan pahala dari orang yang mengamalkan sunnah
tersebut dengan tanpa mengurangi pahala dari pengamalnya sedikitpun. Siapa saja
yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang buruk, maka baginya dosa
dan dosa dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya dengan tanpa
mengurangi dosa dari pengamalnya sedikitpun.
Anjuran
Rasulullah Saw (membuat sunnah/ kurikulum) ditujukan kepada ulama yang diberi
kemampuan oleh Allah Swt, agar dapat menyusun sebuah system (metode/ system/ tarekat/
sunnah) yang baik dan benar, untuk disesuaikan dengan kondisi zaman hingga
mudah membawa ummat masarakat kedalam kehidupan yang diwarnai dengan iman,
Islam dan ihsan, kususnya terbebasnya hati dari paham kemusyrikan.
Dan anjuran Rasulullah Saw itulah yang dilaksanakan oleh Hadlratul
Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah,
dengan menyusun Shalawat Wahidiyah Dan Ajarannya. Beliau Muallif Qs wa Ra mensistematikkan
penjelasan iman WAHIDIYAH dalam bentuk yang lebih ringkas, lebih sederhana
namun sesuai dengan aslinya.
Dengan
demikian, agar dapat terbebas dari syirik dengan cara mudah, mengamalkan Wahidiyah hukumya
wajib. Hukum wajib disini, bagi siapapun orangnya dari pria wanita, tua
muda, bangsa dan golongan manapun tanpa padang bulu. Sedangkan asal hukum
mengamalkan shalawat Wahidiyah, adalah sunnah.
Dan
alhamdullillah - sebagai tahaddus binni’mah - atas bimbingan dan pancaran
radiasi batin Beliau Muallif Shalawat Wahidiyah Qs wa Ra, pangamal Wahidiyah
dapat merasa lebih mudah ingat kepada Allah wa Rasulihi Saw, rasa cinta kepada
Rasulullah Saw dari tahap demi tahap terasa semakin meningkat, semakin terasa
ringan dalam mengamalkan dan meningkatkan ibadah, semakin tenang dan tentram
hatinya, semakin mudah mengoreksi dosa-dosanya, dosa kepada Allah Swt, dosa
kepada Rasulullah Saw, dosa kepada diri sendiri, dosa kepada keluarga, kepada
ummat dan masarakat dan bahkan dosa kepada sesama mahluk jamial ‘alamin.
Disamping membirikan bimbingan,
Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, juga
memberikan sebuah doa berupa Shalawat Wahidiyah agar ummat masarakat tanpa
pandang bulu, terutama diri sendiri dan keluarga, mendapat hidayah Allah Swt,
syafaat Rasulullah Saw dan barakah karamah serta doa restu para waliyullah,
khususnya Ghauts Hadzaz Zaman Ra, hingga dengan mudah dapat mengetrapkan iman
Wahidiyah, mendapatkan barakah dalam kehidupan keluarga dan rumah tangganya,
serta mendapatkan barakah lingkungan dan masarakatnya.
Demikian pula Hadlratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif Majid Ra
Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo al-Munadzdzarah,
bersifat melanjutkan perjuangan Mbah Yai Qs wa Ra serta para al-Ghauts Ra
terdahulu, serta lebih teratur dalam system pelaksanaan iman, Islam dan ihsan
secara berjamaah.
Ajaran WAHIDIYAH juga menjelaskan adanya Ghauts Hadzaz Zaman Ra.
Hanya satu orang dalam setiap waktu yang menduduki jabatan al-Ghauts. Ketika
Beliau Ra wafat Allah Swt akan mengangkat penggantinya untuk menduduki jabatan
ruhani tersebut. Beliau Ra sebagai pembimbing ruhahi bagi setiap manusia dalam
menuju sadar kembali kepada Allah Swt dan kepada Rasulullah Saw. Sebagaimana
prinsip yang lazim dalam lingkungan para kaum sufi, bahwa agar seseorang tidak
dibelokkan oleh iblis dalam menyempurnakan iman dan makrifat kepada Allah wa
Rasulihi Saw, diperlukan adanya seorang pembimbing dan Guru Ruhani.
2.
Keberadaan Guru
Ruhani
Daya
dan upaya semua makhluk semata-mata dari Allah Swt. Pancaran daya dan upaya
yang diterima makhluk antara yang satu dengan lainnya tidak sama. Ada yang mendapat pancaran
sedikit dan ada yang banyak. Lain itu pula, sesuai wujud dan tata setrutur alam
semesta, terdapat makhluk yang menjadi pusat atau pimpinan. Daya dan upaya
pusat atau pimpinan makhluk tersebut, juga sebagai sarana Allah Swt untuk
mengatur makhluk lainnya. Dalam prinsip Islam pusat dan pimpinan makhluk tersebut adalah Rasulullah Saw wa
Ghautsuz Zaman Ra.
Dengan demikian, mencari dan memahami guru ruhani yang
kamil mukammil yang mewakili Rasulullah
Saw sebgai pusat dan pimpinan makhluk, merupakan bagian dari pembersihan hati
dari kemusrikan/ ajaran wahidiyah. Lain itu pula, setiap orang yang ingin wushul makrifat kepada Allah, wajib memiliki guru
ruhani yang membimbing dan yang diridlai oleh Allah Swt.
Memahami keberadaan dan kekuasaan Allah Swt sangatlah sukar. Banyak manusia yang salah dan terjebak
kemusrikan. Agar selamat dan lurus dalam memahami Allah Swt, seseorang harus
dibawah asuhan guru ruhani yang ahli dalam bidang tauhid dan keimanan. Dan
pula, tanpa mendapat bimbingan Gurru Ruhani tersebut, sudah
tentu akan dibimbing oleh setan/ iblis/ nafsu. Ketika manusia dibimbing oleh nafsu atau setan manusia
tidak menyadari adanya bimbingan tersebut, bahkan merasa sebagai hidayah Allah
Swt.
Firman
Allah Swt, Qs. al-Furqan : 59 : الرَحْمَنُ
فَسْئَلْ بِهِ خَبِيْرًا:
Allah Yang Maha Penyayang, bertanyalah tentang-Nya kepada orang yang
memahami-Nya.
Firman Allah
Swt, Qs : : فَاسْئَلُوا
أَهْلَ الذِكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ : bertanyalah
kepada para ahli dzikir, sekiranya kamu semua tidak mengetahui
مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أُسْتَاذٌ
فَإِمَامُهُ الشَيْطَانُ. وَقَالُوا
: مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ
فَشَيْخُهُ الشَيْطَانُ
Barang
siapa tidak memiliki guru ruhani, maka setanlah imamnya. Dan
para guru kaum sufi berkata : Barang siapa tidak memiliki guru ruhani, maka
gurunya adalah setan.
Al-Ghauts fii Zamanihi
Syeh Abdul Wahab as-Sya’rani mewasiatkan :
المُرِيْدُ
ِإذَا مَاتَ شَيْخُهُ وَجَبَ عَلَيْهِ اِتِّخَاذُ شَيْخٍ أَخَرَ يُرَبِّيْهِ
Murid, ketika
Syeh (guru rohani)-nya mati, wajib baginya mengambil (mencari) Syeh Pengganti
untuk membimbingnya.[12]
Amat penting memiliki guru ruhani.
Bahkan bagi orang yang ilmu agamanya sangat luas, selama ia belum mencapai
derajat al-Ghauts, wajib baginya mencari guru ruhani. [13]
لاَبَنْبَغِي لِلْعَالِمِ
وَلَوْتَبَحَّرَ فِي العِلْمِ حَتّى صَاَر وَاحِدَ اَهْلِ زَمَانِهِ اَنْ يَقْنَعَ
بِمَاعَلَّمَهُ وَاِنَّمَا الوَاجِبُ
عَلَيْهِ الاجْتِمَاعُ بِاَهْلِ
الطَرِيْقِ لِيَدُلُّوهُ عَلَى صِرَاطِ المُسْتَقِيْمِ. وَلاَ يَتَيَّسَّرُ
ذَاِلَك (كُدُورَاتِ الهَوَى وَحُظُوظُ نَفْسِهِ الاَمَّارَةِ بِالسُوءِ( عَادَةً اِلاَّ عَلَى يَدِ شَيْخٍ
كَامِلٍ عَالِمٍ فَاِنْ لَمْ
يَجِدْ فِي بِلاَ دِهِ اَوْ اقْلِيْمِهِ وَجَبَ عَلْيْهِ السَفَرُ اِلَيْهِ
Tidak patut
bagi orang alim, meskipun ilmunya seluas lautan, sudah merasa puas dengan
ilmunya. Kecuali ia telah menjadi Wahiduz Zaman pada waktu itu. Bahkan ia wajib bagi
mereka berkumpul dengan para ahli tarekat, agar ia ditunjukkan kearah jalan
yang lurus. Karena tidak mudah menghilangkan kotoran dan keinginan serta
lembutnya nafsu yang mengajak kepada kejelekan, kecuali ia dibawah kekuasaan dan
bimbingan Syeh Yang Kamil dan Alim dalam hal tersebut. Dan apabila didaerahnya
atau dilingkungannya tidak ada guru Syeh Kamil, maka ia wajib pergi menuju
daerah dimana Syeh Mursyid Yang Kamil berada.[14]
وَمِنْ شَأْنِهِ إِذَا لَمْ يَجِدْ أَحَدًا يَتَأَدَّبُ بِهِ
مِنَ الشُيُوخِ أَنْ يُهَاجِرَ مِنْ بَلَدِهِ إِلَى مَنْ هُوَ مَنْصُوبٌ
لإِرْشَادِ النَّاسِ فِيْ ذَالِكَ الزَمَانِ وَلَوْ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ
مَسِيْرَةَ عَامٍ, فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ السَفَرُ جَزْمًا.
Diantara
hal harus diperhatikan bagi murid (orang yang belum makrifat), jika didaerahnya
tidak ada seseorang yang membimbingnya (sebagaimana bimbingan dari Syaih/ Guru
ruhani dalam makrifat), maka wajib baginya hijrah dari daerahnya kepada daerah
yang disita terdapat seseorang yang dapat membimbing manusia pada zaman itu,
Walaupun jarak antara dirinya dan Guru tersebut demikian jauh (memerlukan
perjalanan 100 tahun). Sesungguhnya wajib bagi mereka berangkat menuju daerah
Guru Ruhani tersebut.[15]
Namun,
Allah Swt dan Rasul-Nya memberi peringatan kepada mukmin, agar tidak berguru
atau mengikuti pemimpin ruhani yang menyesatkan. Guru
semacam ini bukan membawa kedalam pencerahan jiwa, tapi akan membawa dalam
kebutaan hati serta bodoh tentang penyakit hati .
Rasulullah Saw bersabda : [16] إِنَّمَاأَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةَ
المُضِلِّون : Sesungguh yang paling Aku takutkan kepada
ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.
Allah
Swt berfirman Qs. Al-Kahfi : 28 :
وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَاهُ قَلبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ
فُرُطًا.
Dan
janganlah kamu mengikuti orang yang Kami lupakan hatinya dari dzikir kepada-Ku,
orang tersebut mengikuti hawa nafsunya, dan memanglah melampaui batas.
Demikian penting dan dominannya
peranan guru ruhani dalam meningkatkan dan meluruskan iman kepada Allah Swt wa
Rasulihi Saw. Namun, juga sangat menakutkan akibatnya jika berguru orang yanmg
tersesat.
Diantara ciri-ciri Guru Ruhani Yang Kamil Mukammil :
1.
Hatinya tidak terpengaruh hiasan dunia. Firman Allah Swt, Qs.
Al-Kahfi : 28 :
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِيْنَ
يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالغَدوآةِ وَالعَشِيِّ يُرِيْدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ
زِيْنَةَالحَيَاةِ الدُنْيَا.
Sabarlah (tetap) bersama orang-orang
yang memanggil Tuhan mereka diwaktu pagi dan petang. Dan yang mengharapkan
Dzat-Nya. Dan janganlah kamu memalingkan pandanganmu dari mereka, hanya karena
engkau menginginkan keindahan dunia.
وَاتَبِعْ سَبِيْلَ مَنْ أَنَابَ
إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ:
Dan
ikutilah jalan orang yang kembali (inaabah) kepada-Ku. Kemudian kepada-Ku tempat
kamu kembali.
Ayat ini
menjelaskan, bahwa seseorang yang mengikuti Guru Ruhani yang telah ber-inaabah
(telah sadar kembali kepada Allah Swt), akan mendapatkan manfaat utama, yakni
wushul dan makrifat kepada Allah Swt.
Arti dan makna
ayat diatas diperkuat lagi oleh sabda Rasulullah Saw :[18]
كُنْ
مَعَ اللهِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ
يُوصِلُكَ إِلَى اللهِ إِنْ كُنْتَ مَعَهُ
Jadilah kamu bersama Allah. Jika tidak mampu, bersamalah dengan
orang yang bersama Allah. Sedsungguhnya orang tersebut akan mengantarmu sampai
kepada Allah, sekiranya kamu bersamaqnya.
3.
Dapat mengantar murid dekat kepada Rasulullah Saw. Al-Ghauts fii
Zamnihhi, Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra menjelaskan :[19]
ومِنْ
عَلاَمَةِ صِدْقِهِ فِي تِلْكَ الطَّرِيْقِ إِجْتِمَاعُهُ بِالنَّبِى صَلَّى اللهُ
عَلِيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ (كَمَاذَكَرْنَاهُ), فَإِنْ لَمْ يَحْصُلْ لَهُ بِهِ
جَمْعِيَّةً هُوَ بَطَّالٌ
Dan dari tanda-tanda benarnya seseorang dalam thariqahnya, adalah
pertemuannya dengan Nabi Muhammad Saw (sebagaimana yang telah kami jelaskan).
Maka jika dengan thariqahnya tersebut, ia tidak berhasil bertemu Rasulullah,
maka ia tertolak/ batallah (sebagai guru demikian pula tarekatnya).
4.
Menselaraskan antara pelaksanaan syariat dan hakikat.
5.
Meningkatnya iman murid kepada Allah Swt serta cinta kepada
Rasulullah Saw.
C.
Kitab Dan Buku Terdahulu.
Membebaskan
jiwa dari kemusyrikan merupakan tugas utama para nabi dan rasul. Memiliki iman
yang bersih dari musyrik tidaklah mudah. Para ulama Arif Billah mencari, menggali
metode atau system, agar manusia mudah mencapai iaman yang bersih dari
kemusyrikan. Diantara mereka ada yang hanya mengambil metode dengan mencukupkan
dengan memberikan ceramah-ceramah tentang ke-Tuhan-an dan berakhlak kepada-Nya.
Diantara mereka ada yang hanya menyusun doa tarekat yang didalamnya berisi
ajaran ke-Esa-an Tuhan dan permohonan kepada Allah Swt agar diberi hidayah
dapat terbebas dari kemusyrikan. Dan diantara mereka ada yang hanya menulis
buku untuk membahas tentang ke-ESA-an Allah Swt. Dan diantara mereka ada yang sekaligus
menggabungkan dua metode atau tiga metode diatas.
Sedangkan Hadltatul Mukarram Mbah KH. Abdul
Majid Ma’rih Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah mengambil metode menyusun doa,
memberi ceramah dan membimbing ummat dan masarakat agar sadar kembali makrifat
dan mengabdikan diri kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw. Sedangkan Hadlratul
Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra sifatnya melanjutkan perjuangan
para Tokoh sufi dan al-Ghauts Ra sebelumnya, serta lebih bersifat memperjelas
maksud dan prakteknya. Demikian pula Beliau Hadlratul Mukarram Romo KH. Abdul
Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo
al-Munadzdzarah, juga bersifat melanjutkan dan menata system pelaksanaannya
secara berjamaah.
WAHIDIYAH
(me-MAHA ESA-han Allah Swt) bukanlah suatu istilah yang baru dalam Islam. Sudah
banyak para ulama shalih terdahulu (sebelum terciptanya Shalawat Wahidiyah)
yang telah menjelaskan tentang iman Wahidiyah dan Ahadiyah dalam berbagai kitab
dan buku yang ditulisnya. Antara lain :
4.
Kitab al-Madlnuun Bih ‘ala Ghairi Ahlih, karangan Imam
al-Gazali Ra (al-Ghauts fii Zamanihi).[23]
5.
Kitab Jami’ al-Ushuul fil Auliya’, karangan al-Mujaddid al-Ghauts
fii Zamanihi Syeh Ahmad Kamasykhanawi Ra.[24]
6.
Kitab at-Ta’rifat, karangan Syeh Ali al-Jurjani.[25]
7.
Kitab Thabaqatul Kubra, karangan al-Ghauts fii Zamanihi Syeh
Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra.[26]
8.
Kitab Siyrus-Salikiin, karangan Syeh Abdus Shamad
al-Falinbani Ra.[27]
9.
Kitab al-Insaan al-Kamil fii Ma’rifah al-Awakhir wal Awaail,
karangan al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Karim al-Jilliy Ra.[28]
10.
Kitab Asaraar al-Insaan fii Ma’rifah ar-Ruuh wa ar-Rahmaan,
karangan Syeh Nuruddin ar-Raniri.[29]
11.
Kitab Afdlalus Shalawat ‘alaa Sayyid as-Saadaat, tulisan
al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf Ismail an-Nabhani Ra.[30]
12.
Kitab Durrat al-Asraar wa Tuhfat al-Abrraar, tulisan Syyeh
Muhammad bin Abi Qasim al-Humairi. [31]
13.
Dan masih banyak kitab dan buku yang lainnya.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa :
1. Wahidiyah, bukan sebuah aliran/ golongan/ komunitas yang keluar dari kaidah syariah
Islamiyah. Apalagi paham baru yang diada-adakan oleh Yayasan Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren
Kedunglo.
2. Untuk membedakan dengan penafsiran
syirik yang tidak tuntas dan yang dilakukan oleh ulama non sufi serta dapat
dipertanggung jawab kepada aqidah Islamiyah, maka ulama sufi memberikan nama
kepada iman yang bersih dari kemusyrikan dengan nama iman Wahidiyah dan
Ahadiyah.
3. Wahidiyah, merupakan tingkatan keimanan mukmin
dalam memahami ke-ESA-an Allah Swt. Yang mengamalkannya hukumnya fardlu ain.
4. Wahidiyah, merupakan iman
yang diperjuangkan oleh para Gahuts Ra sebelum adanya redaksi Shalawat
Wahidiyah dan Perjuangan Wahidiyah.
5. Sebagai lawan kata dari makna syirik.
6. Shalawat Wahidiyah dan Perjuangan
Wahidiyah, sifatnya memberi alat dan cara yang mudah, praktis dan simpel dalam
membersihkan hati dari kemusyrikan yang tidak disadari (khafi/ sukar dideteksi).
Sedangkan
Shalawat Wahidiyah merupakan sebuah alat atau doa untuk memohon taufiq dan
hidayah kepada Allah Swt, dan syafaat tarbiyah Rasulullah Saw, serta barakah
karamah nadhrah dan doa restu Ghauts Hadzaz Zaman Ra, agar seseorang yang
mengamalkannya diberi oleh Allah Swt kesempurnaan iman tentang ke-Esaan-Nya
secara musyahadah.
Dan alhamdullah
- sebagai tahaddus binnikmah - sepulang Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid
Ma’ruf Qs wa Ra, Allah Swt semakin menampakkan kemampuan Beliau Hadratul
Mukarram Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok
Pesantren Kedunglo dalam membawa dan membimbing pengamal Wahidiyah untuk
meningkat dalam segala bidang, baik lahiriyah maupun batiniyah, syariat dan
hakikat, intelektual dan sepiritual. Demikian pula, berkat bimbingan Beliau Ra
banyak pengamal Wahidiyah yang dapat bertemu kepada Rasulullah Saw baik secara
mimpi atau jaga. [32]
Semua terjadi atas izin Allah Swt, syafaat Rasulullah Swt belaka.
Al-Fatihah x 1
Yaa Syaafial Khalqis Shalaatu was Salaam ....... x 1
Yaa Sayyidii Yaa Rasulallah x 3
Yaa Ayyuhal Ghautsu Salaamullah ............... x 1
Al-Fatihah
[1]. HR. Thabrani dari Abi
Umaamah.
[2]. Dalam Islam terdapat
(dibolehkannya lahir) beberapa aliran yang positif. Misalnya, dalam ilmu fiqh,
terdapat aliran Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hanbali, as-Tsauri atau ad-Dzahiri, dan dalam lingkungan ilmu bahasa arab
terdapat aliran Bashrah dan aliran Kufah, dan dalam system pembacaan al-Qur’an
terdapat 7 aliran (Ashim, Kisai, Hamzah,
Hafash), 10 atau 15 aliran yang dikenal dengan qira’ah sab’ah, asyarah atau
khamsyah ‘asyar. Demikian pula dalam ilmu tasawuf terdapat aliran Kufi,
Bashri, Mishri, Hijazi. Semua aliran positif diatas tidak
bertentangan, bahkan mendukung pemahaman dan pendalaman pokok-pokok dasar
ajaran Islam.
وَمِنَ
الإِشْرَاكِ بِاللهِ أَنْ يَتَّخِذَ الأَولِيَاءَ وسِيْلَةً مِنْ دُونِ اللهِ : Termasuk perbuatan syirik (menyekutukan Allah dengan
mahluk), sekiranya mengambil auliya’ tanpa Allah. Lihat kitab Thabaqatul
Kubra karya al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Sya’rani Ra juz II dalam bab “kisah
Imam Syadzili”.
Keterangan
yang sama juga berikan a al-Ghauts fii Zamanihi Imam Kamasykhanawi Ra dalam
kitabnya Jami’ al-Ushuul pada bab syafaat : الشِرْكُ بِاللهِ اِتِّخَاذُ الأَوْلِيَاءِ وَالشُفَعَاءِ
دُوْنَ اللهِ: Syirik dengan
Allah adalah mengambil (menjadikan) para waliyullah atau para penolong tanpa
Allah.
[5]. Kitab al-Madlnun
Bih ‘alaa Ghairi Ahlih, Imam al-Ghazali Ra dalam pasal IV pada bab
perbedaan makna Wahid dan Ahad
[8] HR. Thabrani
(Ibnu Umar) dan riwayat Abu Nuaim serta Baihaqi (Abu Hurairah)Rasulullah Saw
bersabda : المَقَامُ المَحْمُودُ الشَفَاعَةُ : Kedudukan yang terpuji (bagi Rasulullah) adalah syafaat. Dalam kitab Jami’
as-Shagir, juz II, pada bab “miim”. Hadis ini hasan dan shahih.
Tentang arti
syafa’at Rasulullah Saw, dalam kitab Dalil al-Falihin-nya Syeh Muhammad
Ibn ‘Alan al-Makkiy (w. 1058 H), juz II, dalam bab “as-Syafa’ah”, Imam ar-Raziy
berkata :
وَأَصْلُهَا
الشَفْعُ ضِدُّ الوِتْرِ كَأَنَّ صَاحِبَ الحَاجَةِ كَانَ فَرْدًا فَصَارَ صَاحِبُ
الشَفْعِ
لَهُ شَفْعًا أَيْ صَارَ زَوْجًا
Dan
asalnya makna syafa’at itu “genap” kebalikan “ganjil”. Sehingga, sesungguhnya,
orang yang menghajatkan syafa’at itu, seakan-akan seorang diri, maka pemilik
syafa’at akan menjadi penggenap bagi orang itu. Yakni, menjadi pendamping
hidup.
Dan
dalam kitab Sa’adah ad-Daraini nya Syeh An-Nabhani, dalam bab 5, tentang syafaat Rasulullah Saw,
yang menukil dari fatwa Imam Ghazali :
أنَّهَا نُورٌ يُشْرَقُ مِنَ
الحَضْرَةِ الاِلَهِيَةِ عَلَى جوهَرِ النُبُوَّةِ وَيُنْشَرُ مِنْهُ عَلَى كُلِّ
جَوُهرٍ
Sesungguhnya,
syafa’at itu merupakan NUR dari keharibaan Tuhan kepada diri Nabi. Kemudian
dari Nabi, NUR itu dipancarkan kepada seluruh mahluk.
Penjelasan
yang sama, juga dijelaskan dalam kitab Jami al-Ushul-nya Syeh
Kamsykhanawi Ra dalam “Bayan as-Syafaah”
[9]. Seorang mukmin, yang muslim dan yang muhsin adalah orang
yang taat beribadah kepada Allah Swt serta tidak (syirik) menyekutukan-Nya
dengan mahluk.
[10]. Kitab Riyadlus Shalihin bab “Man Sanna
Sunnatan”. Hadis ini juga diriwatkan
oleh Imam Nasa’i, Ibnu Majah,dan Imam Tirmidzi dari Abu Amr dan Jarir Ibnu
Abdullah Ra.
Berkaitan dengan kata SUNNAH dalam
hadis diatas, dalam kitab Tanwiirul Hawaalik alla Syarhi Muwattha’ Malik
tulisan Syeh Jalaluddin Suytuthi, diterangkan bahwa Syeh Ibnu Muhdi (termasuk
pembesar ulama Hijaz setelah Imam Malik) mengatakan : Syeh Sufyan Tsauri
adalah imam dalam hadis tapi bukan dalam sunnah. Dan Syeh al-Auzaiy adalah imam dalam sunnah, tapi bukan dalam
hadis. Sedangkan Imam malik Ibn Anas adalah imam hadis dan sunnah. Dan Imam Ibnu Shalah juga mengatakan : seorang ulama itu
kadang alim dalam hadis, tapi tidak alim dalam sunnah.
Selain hal tersebut Imam Suyuthi
dalam keterangan selanjutnya menjelaskan; bahwa Imam Malik Ibn Anas (pendiri
madzhab Maliki, w. 158 H) setiap malam bertemu dengan Rasulullah Saw.
[11]. Kitab Jami’
al-Ushul fil Auliya’-nya Syeh
Kamsykhanawi, pada bagian ‘”mutammimaat”
dalam “bayaan washiyatul muriidiin”.
[12]. Kitab al-Anwar
al-Qudsiyah-nya al-Ghauts fi Zamanihi, Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani, Ra
(w. 973 H), dalam bab “adabul murid”).
[13]. Malikat saja yang tidak pernah berbuat maksiat, masih
diperintahkan agar berguru kepada Nabi Adam As. Lebih lagi manusia yang berlumuran
dosa. Lihat penjelasan al-Ghauts fii Zamnihi Syeh Abdul Qadir Jailani Ra (w.
565 H) dalam kitabnya al-Ghunyah juz II bab “Maa Yajibu ‘ala
al-Mubtadi”, yang menjelaskan : فَصَارتِ
المَلائكَةُ تَلامِيْذًا لأدمَ وأدَمُ شَيْخُهُمْ, فَأَنْبَأَهُمْ بَأَسْمَاءِ
الأشْيَاِ كُلِّهَا : Malaikat menjadi murid Nabi Adam, dan Nabi Adam sebagai
guru malaikat. Dan Adam mengajarkan
nama-nama segala sesuatu secara keseluruhan.
Penjelasan yang sama juga
diterangkan oleh Syeh Jalaluddin Suyuthi dalam kitabnya al-Hawi lil Fatawi,
juz II, dalam Kitab al-Ba’tsi pada bahasan “irsaaluhu ‘alal malaik” bagian
“khatimah” :
أَنَّ آدَمَ أَرْسَلَ إِلَى المَلاَئِكَةِ لِيُنَبِّئئَهُمْ بِمَا عَلِمَ مِنَ
الأَسْمَاءِ : Sesungguhnya Nabi Adam diutus kepada para malaikat agar
mendidik mereka tentang pengetahuan nama-nama segala sesuatu. Imam Suyuthi
juga menerangkan bahwa pemahaman seperti ini sebagai ketentuan Imam Syafi’i Ra.
[14]. Kitab Tanwir al-Qulub Syeh
Amin al-Kurdi, hlm 362.
[15]. Kitab al-Anwaarul
Qudsiyah-nya al-Ghauts fii Zamaanihi Ra Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra,
dalam bab I, pada bahasan ke 19.
[16]. Jami’ as-Shagir Imam
Jalaluddin Suyuthi, juz I bab alif. Dan kitab Kasyful Khifa’ juz I, bab
alif.
[17]. Makna “inabaah” adalah
: رُجُوعُ الكُلِّ إِلَى مَنْ لَهُ الكُلُّ : mengembalikan
segalanya kepada pemilik segalanya. Lihat Kitab “at-Ta’rifat”-nya Syeh Ali
al-Jurjani, bab alif.
Rasulullah
Saw bersabda : إِنَّ مِنْ
سَعَادَةِ المَرْءِ أَنْ يَطُولَ عُمْرُهُ وَرَزَقَهُ اللهُ الإِنَابَةَ : Sesungguhnya diantara
kebahagiaan seseorang, sekiranya ia diberi usia panjang dan diberi inaabah.
(Kitab Jami’ as-Shagir Imam
Jalaluddin Suyuthi, juz I bab alif).
[18]. Kitab Khaziinah
al-Asraar Jaliilah al-Adzkaar-nya Syeh Muhmnad Haqqi an-Naazili, dalam bab
“washiyah Suhrawardi. Imam Suhrawardi (penulis kitab Awarif
al-Ma’arif), adalah seorang sufi yang ahli dalam hadis serta memiliki sanadnya yang
bersambung sampai kepada Rasulullah Saw
[20]. Fatwa Syeh
Junaid al-Bagdadi tertulis dalam kitab Risyalah al-Qusyairiyah.
[21]. Dalam kitab ini, Imam
Abu Thalib al-Makkiy (w. 385 H), secara jelas
menyebutkan martabat ahadiyah. Sedangkan martabat wahidiyah, hanya dimengulas
makna wahid tanpa menyebutkan kata wahidiyah. Namun dalam ulasan makna kata
wahid ini sebagaimana ulasan Imam
Ghazali dalam membahas wahidiyah.
[22]. Demikain pula Imam
Qusyairi Ra, dalam membahas wahidiyah dan ahadiyah mengikuti cara Syeh Junaid al-Bagdadi dan Syeh Abu
Thalib al-Makkiy. Dalam kitabnya ini, Syeh lebih menampakkan martabat Ahadiyah.
Sedangkan martabat wahidiyah tidak disebut secara implicit, dan hanya
menjelaskan makna asma Wahid-nya Allah Swt
sebagaimana Imam Ghazali Ra..
[23]. Lihat kumpulan
kitab kecil yang ditulis oleh Imam al-Ghazali, yang tersusun dalam Majmu’ah
Rasaail lil Ghazali, terbitan Darul Fikri, Bairut. Dalam kitab al-Madlnuun
Bih ini, ketika memberikan keterangan makna surat Ikhlash, Imam Ghazali
menjelaskan tentang Iman Wahidiyah dan iman Ahadiyah.
[24]. Dilihat dari isi
yang terkandung dalam kitab ini, menunjukan bahwa Penulis kitab ini sebagai
pengamal tarekat syadzaliyah dan naqsyabandiyah, dan sekaligus
sebagai tokoh kaum sufi yang benar-benar telah memahami sistem dan metode yang
terdapat dalam setiap tarekat sufi.
Dalam kitab
ini dibahas tentang difinisi-difinisi dan istilah yang mashur
dalam lingkungan kaum sufi dan ulama ushul fiqh. Beliau Ra membeberkan tentang makna iman Wahidiyah dan Ahadiyah secara
panjang lebar dalam bab “Bayan Madhahir al-Auliya’ wa Maraatibihim fil Asma’
al-Ilaahiyah”, dan pada bagian “Mutammimaat”
[25]. Penulisnya
adalah ulama sufi yang ahli dalam ilmu bahasa arab. Didalamnya menerangkan
ensiklopedi istilah-istilah yang mashur dalam Islam, diantaranya tentang iman
Wahidiyah.
[26]. Syeh Abdul
Wahhab as-Sya’rani adalah ketua ulama Madzhab Syafi’i di Mesir waktu itu (lihat
kitab Mizan al-Kubra yang membahas perbandingan madzhab dalam ilmu fiqh,
tulisan Syeh Sya’rani juga). Didalam
kitab ini diterangkan tentang tingkatan tauhid dan keimanan mukmin, yang
diantaranya maqam Wahidiyah dan Ahadiyah, dan pula sejarah para pembesar kaum
sufi dan waliyullah pada zaman sebelum kehidupan Syeh Sya’rani Ra serta
nasehat-nasehatnya.
[27]. Kitab ini
berbahasa melayu kuno sebagai syarah dari kitab Minhajul ‘Abidin
karangan Imam al-Ghazali Ra. Ketika membahas tentang nafsu muthmainnah, dibahas
juga tentang iman Wahidiyah.
[28]. Kitab ini terdiri dari 2
juz. Dan ilmu Wahidiyah, dibahas secara panjang lebar pada juz I dalam pasal 6,
serta dalam bab muqaddimah.
[29]. Syeh Nuruddin ar-Raniri
berasal dari daerah Ranir India. Kemudian menjadi mufti di kesultanan Aceh
Darus Salaam. Kitab ini ditulis dengan bahasa melayu kuno.
[30]. Dalam kitab ini,
Syeh Nabhani Ra banyak menukil redaksi
shalawat nabi yang ditaklif oleh para
waliyullah dan al-Ghauts Ra yang hidup pada masa sebelum tahun 1933 M sampai
guru Imam Abul Hasan as-Syadzali Ra (Syeh Izzuddin Abdis Salam al-Masyiysi Ra,
w 658 H), yang telah mengulas secara
singkat tentang derajat iman wahidiyah dan ahadiyah.
[31]. Dalam
kitab ini membahas metode dzikir dan tarekat yang diajarkan oleh Imam Abuk
Hasan as-Syadzili Ra. Dan dalam bab I diterangkan bahwa guru Imam Syadzili Ra (
Syeh ‘Izzudin bin Abdis Salam al-Masyisy Ra) adalah al-Ghaus fii Zamanihi.
Kepada Imam Syadzili, Syeh Masyisiy berpesan agar ia tinggal dan menetap di
Maroko, karena didaerah ini kamu akan memperoleh ilmu yang sempurna tentang
dunia dan akhirat. Kemudian segera pindah ke Mesir, karena nanti disana
kamu akan diangkat oleh Allah Swt
sebagai al-Ghauts.
[32]. Tentang pengalaman
ruhani yang diperoleh pengamal Wahiidiyah, dapat dilihat dalam buku “Shalawat
Wahidiyah Dan Pengalaman Ruhani” terbitan
Yayasan Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo.